*

*

Ads

FB

Selasa, 23 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 140

Muka itu begitu dekat. Eh, benar engkau bajul buntung, Keng Hong! Kembali Keng Hong memaki dirinya sendiri dan cepat dia berbisik perlahan sekali. Gadis itu menggerak-gerakkan sepasang alisnya, kelihatannya terheran, akan tetapi ia mengangguk tanda mengerti apa yang diminta oleh Keng Hong.

Setelah Keng Hong membisikkan siasatnya, nona itu menjauhkan lagi tubuhnya lalu berkata, kini suaranya keras,

"Subo terdesak oleh nenek iblis itu!"

Keng Hong tertawa, suara ketawanya mengejek.
"Ahhhhh, siapa tidak mengenal nenek iblis Ang-bin Kwi-bo? Namanya saja besar, padahal dia seorang yang pengecut dan penakut sehingga kuku-kuku jari tangannya pun diberi racun dan dipanjangkan, masih pula ia menggunakan rambutnya yang kotor dan penuh kutu! Ilmu silatnya sih hanya ilmu silat pasaran saja, dan kepandaiannya pun bolehnya mencuri-curi dan meniru-niru dari orang lain. Biarpun begitu, dia masih tidak malu-malu memakai nama sebagai seorang di antara Bu-tek Su-kwi. Menggelikan dan menjijikkan!"

Terdengar Ang-bin Kwi-bo memekik marah dan meloncat mundur.
"Bocah bermulut busuk! Murid Sie Cun Hong mulutnya busuk seperti gurunya! Kau tunggu saja, setelah aku membunuh isterinya, engkau akan kubunuh sedikit demi sedikit, akan kusayat-sayat dagingmu, kuberikan kepada gagak dan anjing...!"

Akan tetapi ia berhenti memaki karena nenek itu sudah menerjang lagi dengan tongkatnya, marah mendengar caci maki yang kotor dan keji itu.

Melihat keduanya bertanding lagi, nona yang sudah diberi isyarat kedipan mata Keng Hong, berkata lagi dengan suara nyaring,

"Akan tetapi, kulihat nenek iblis itu demikian kuat dan cepat, ilmu silatnya aneh sekali! Sungguh mengerikan!"

"Uwaaah! Siapa bilang? Coba kalau gurumu menggunakan senjata Siang-bhok-kiam yang secara tidak tahu malu ia rampas dari tanganku ketika aku pingsan, hemmm... tentu dalam sepuluh jurus lagi dia mampus! Siang-bhok-kiam adalah pedang pusaka guruku yang dianggap suci, tidak mungkin dipergunakan terhadap sembarangan manusia, bahkan pantang minum darah manusia. akan tetapi kalau darah iblis seperti nenek itu, guruku tentu tidak ragu-ragu lagi untuk mempergunakan. Dia pengecut, mana berani? Ha-ha-ha!"

Keng Hong tertawa, akan tetapi sesungguhnya ketika dia tertawa itu, punggung dan dadanya rasanya nyeri bukan main hampir tak dapat dia menahan.

Tiba-tiba Ang-bin Kwi-bo terkekeh.
"Heh-heh-heh-hi-hik! Cia Keng Hong, kau kira aku manusia tolol yang dapat kau bakar hatiku? Ha-ha-ha, biar kau mencaci maki aku, tidak nanti aku begitu bodoh menjadi marah dan terkena pancinganmu lalu memberikan pedang Siang-bhok-kiam kepada isteri gurumu! Kau lihat ini! Aku malah akan menggunakan pedang pusaka gurumu untuk membunuh isterinya! Heh-heh-heh-heh, bagus sekali! Pedang pusaka suci ini akan minum darah isteri gurumu sendiri!"

Keng Hong memebelalakkan matanya mengangkat tangan ke atas dan mulutnya menyeringai saking sakitnya.

"Jangan...! Ahhh, Kwi-bo, jangan sekeji itu...!






Gadis itu meloncat berdiri dan menudingkan telunjuknya ke hidung Keng Hong sambil memberntak,

"Engkau... dengan akal bulusmu yang tolol! Engkau malah mencelakakan subo...!"

Ang-bin Kwi-bo terkekeh dan mencabut Siang-bhok-kiam dari pinggangnya. Melihat Pedang Kayu Harum milik suaminya ini, nenek itu menjadi pucat wajahnya, akan tatapi ia sudah nekat dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menerjang dengan tongkatnya.

Ang-bin-Kwi-bo megerahkan sinkangnya dengan amat kuat dan menangkis dengan pedang Siang-bhok-kiam.

"Krekkk!"

Tongkat di tangan nenek itu patah menjadi dua bertemu dengan Siang-bhok-kiam. Nenek itu menjerit dan meloncat mundur.

"Hi-hi-hi-hi-hik!" Ang-bin Kwi-bo terkekeh girang.

"Celaka...!"

Gadis itu menjerit dan sekali ini jeritnya bukan lagi pura-pura, melainkan jerit karena khawatir dan ngeri. Sambaran Siang-bhok-kiam yang berubah menjadi sinar hijau dapat dielakkan oleh Tung Sun Nio, akan tetapi karena hawa pedang itu amat mujijat, ia terhuyung dan tiba-tiba sinar hitam dari rambut Ang-bin Kwi-bo telah meluncur ke depan dan melibat leher dan pundak Tung Sun Nio!

Sambil terkekeh-kekeh, Ang-bin Kwi-bo melangkah maju, pedang Siang-bhok-kiam diangkat tinggi dan akan dihantamkan ke arah kepala nenek itu.

"Tung Sun Nio, lihat pedang suamimu yang suci akan membelah kepalamu, hi-hi-hi..."

Tiba-tiba nenek iblis itu mengeluarkan suara meraung keras, pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan kanannya dan ia menjerit.

"Aduhhh... tanganku...tanganku...!"

Ternyata tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedang yang terlepas itu cepat disambar oleh Tung Sun Nio dan sekali pedang tiu berkelebat, rambut yang membelitnya telah dibabat putus!

"Aihhhhh... keparat... pedang celaka...!"

Ang-bin Kwi-bo memaki dan tangan kirinya dengan jari-jari berkuku runcing menyambar. Tung Sun Nio memapaki lengan itu dengan Siang-bhok-kiam.

"Srattt... krekkkkk!"

Lengan nenek iblis yang kiri terbabat buntung! Ia memekik keras. Akan tetapi pekik ini dilanjutkan dengan raung yang mendirikan bulu roma ketika pedang Siang-bhok-kiam yang ditusukkan Tung Sun Nio amblas ke dalam perutnya menembus punggung!

Tubuh itu meronta keras sehingga Tung Sun Nio tidak mampu menguasai lagi, terpaksa melepaskan gagang Siang-bhok-kiam dan meloncat ke belakang. Tubuh Ang-bin Kwi-bo terguling roboh dan tewaslah nenek iblis itu dengan pedang Siang-bhok-kiam masih menancap di perutnya. Buntalan pusaka yang disampirkan di pundak jatuh terlepas dan berserakan di atas rumput.

"Subo...!"

Gadis itu berseru girang dan memeluk gurunya. Nenek ini yang masih pucat mukanya, menghela napas panjang.

"Sie Cun Hong, tidak urung engkau juga yang menolongku, melalui pedangmu dan siasat muridmu..."

Mereka berdua menengok dan ternyata Keng Hong juga sudah roboh terguling dan pingsan. Ia tadi mempertahankan dirinya untuk menyaksikan siasatnya yang berbahaya. Dia maklum akan kecerdikan iblis wanita itu untuk menjalankan siasatnya.

Nenek iblis itu tentu merasa ditipu dan berlaku cerdik, tidak mau dipancing, padahal justeru itulah kehendak Keng Hong. Andai kata nenek itu menyerahkan pedang kepada Tung Sun Nio, belum tentu isteri gurunya itu akan menang menghadapi nenek iblis yang amat lihai ilmunya Ban-tok-sin-ciang itu.

Akan tetapi nenek itu berlaku cerdik, dan terpancing oleh pujian Keng Hong akan pedang Siang-bhok-kiam. Kejahatan dan kekejian nenek iblis itu mendatangkan akal untuk membunuh isteri Sin-jiu Kiam-ong dengan pedangnya sendiri yang oleh muridnya disebut pedang suci. Hal ini dekehendaki oleh Keng Hong karena pemuda ini mempunyai keyakinan bahwa Ban-tok-sin-ciang akan luntur dan punah kalau terkena hawa murni dan mujijat dari Siang-bhok-kiam.

Dugaannya terbukti karena begitu tangan kanan nenek iblis itu memegang Siang-bhok-kiam dan mengerahkan sinkang, otomatis hawa sakti pedang itu menumpas dan memusnahkan hawa Ban-tok-sin-ciang seperti air memadamkan api sehingga lengan kanan nenek iblis menjadi lumpuh yang mengakibatkan kematiannya! Setelah melihat siasatnya berhasil dan isteri gurunya tertolong, Keng Hong terguling pingsan!

Keng Hong mengeluh perlahan dan membuka matanya. Ia mendapatkan dirinya terbaring di atas dipan bambu dalam sebuah kamar yang amat bersih. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan lantainya dari batu putih. Tubuhnya terasa nyeri semua dan amat panas, seolah-olah di dalam dadanya ada api unggun menyala. Akan tetapi perasaan nyeri sejenak lenyap terlupa olehnya ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik dari gadis yang duduk di atas bangku, tak jauh dari pembaringannya.

"Suheng..., bagaimana rasanya...?"

Tanya gadis itu dengan suaranya yang halus, wajahnya yang cantik memandang serius sekali dan terbayang kegelisahan.

"Suheng...?" Keng Hong mengulang dengan suara terheran.

"Engkau adalah murid Sin-jiu Kiam-ong, suami subo. Berarti kita masih saudara seperguruan." Gadis itu menjelaskan.

"Aahhh... terima kasih, Sumoi. Tentu engkau dan subo yang menolongku dan membawaku ke sini. Budimu dan budi subo amat besar, aku berterima kasih sekali."

"Aihhh, Suheng. Baru sekarang aku tahu setelah subo memberi penjelasan sesungguhnya engkaulah yag telah menyelematkan subo. Kalau mau bicara tentang budi, engkau pun telah berjasa besar. Akan tetapi, Suheng..." Gadis itu berhenti dan memandang wajah Keng Hong penuh keharuan dan kegelisahan!"... lukamu..., subo bilang..."

"Bagaimana? Bahwa luka akibat Ban-tok-sin-ciang di punggungku ini tidak dapat disembuhkan?"

Gadis itu mengangguk dan... menangis, menutupi mukanya. Keng Hong membelalakkan matanya, memandang heran.

"Eh, Sumoi! Kenapa engkau menangis?"

Gadis itu mengangkat mukanya dari balik kedua tangannya, muka yang menjadi merah oleh tangis, sehingga bibirnya menjadi merah sekali, dengan kulit bibir tipis seperti buah apel, seolah-olah mudah sekali pecah.

"Suheng, subo sudah berusaha keras untuk mengobatimu, akan tetapi menurut subo... dia hanya berhasil menghentikan racun itu menjalar, namun tidak berhasil melenyapkannya dan... dan... engkau hanya akan bertahan sampai sehari semalam... Sekarang sudah hampir tengah malam... besok pagi..."

Gadis itu tidak melanjutkan bicaranya, menangis lagi. Keng Hong menjadi terharu. Perasaannya seperti lilin terbakar api dan dalam keharuannya dia memegang tangan gadis itu. Gadis itu pun balas memegang sehingga jari-jari tangan mereka saling mencengkeram!

"Kau mau bilang bahwa nyawaku tinggal setengah malam lagi? Kalau begitu mengapa, Sumoi? Kalau sudah semestinya besok pagi aku mati, aku tidak takut. Biarlah, mengapa kau yang baru saja berjumpa denganku menangisi keadaanku?"

Gadis itu menarik kembali tangannya, mukanya menjadi merah sekali akan tetapi ia memandang Keng Hong dengan sinar mata penuh kejujuran.

"Suheng, selamanya aku tidak mempunyai saudara seperguruan. Sekarang, bertemu denganmu dan tiba-tiba mempunyai seorang suheng, hatiku... amat bahagia. Akan tetapi besok pagi...ahhh..." Ia menangis lagi.

Keng Hong mengerti dan dia menyumpahi diri sendiri mengapa hatinya menjadi kecewa mendengar keterangan itu. Tentu saja! Gadis ini menangis karena kasihan kepadanya, kepada suhengnya! Sama sekali bukan karena... cinta kepadanya, seperti yang diharapkan oleh hatinya yang lemah apabila bertemu dengan gadis jelita! Benar-benar memalukan. Laki-laki mata keranjang benar dia!

"Sudahlah, Sumoi. Harap jangan menangis dan tolong kau minta subo supaya suka datang ke sini dan membawa Siang-bhok-kiam. Kalau Tuhan menghendaki, aku tidak akan mati besok pagi."

Gadis itu memandang penuh harapan, lalu mengangguk dan melangkah keluar dari dalam kamar itu. Keng Hong kembali menyumpahi dirinya. Mengapa mata ini tidak mau diam, seperti besi terbetot besi semberani dan memandang tubuh belakang gadis itu ketika berjalan pergi sehingga tampak pemandangan yang amat menggairahkan?

Tak lama kemudian, nenek itu melangkah masuk diikuti gadis itu, langkahnya halus dan biarpun sikapnya tenang dan wajahnya juga tidak membayangkan sesuatu, namun sinar matanya terselimut kegelisahan ketika ia memandang wajah Keng Hong.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: