*

*

Ads

FB

Selasa, 23 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 135

Akan tetapi Kai-ong Lo-mo tertawa bergelak.
"Cia Keng Hong, kami kakek-kakek tua renta sama sekali tidak menginginkan pusaka-pusaka itu. Segala macam pedang dan golok, segala macam emas intan, segala macam kitab-kitab lapuk, bagi kami untuk apakah? Kami tidak perlu menggunakan pedang dan golok, kami tidak butuh harta benda, dan kamipun tidak punya banyak waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu baru. Engkau benar-benar tolol. Kami mempertaruhkan pusaka-pusaka itu agar kalau engkau kalah, engkau dapat menggembleng diri lagi dan mencari kami untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka itu. Bukankah ini baik sekali untukmu? Atau engkau lebih suka kalau kami mempertaruhkan kepalamu atau nyawamu?"

Keng Hong sadar dan diam-diam dia memuji tiga orang kakek ini. Dengan taruhan pusaka, memang kalau dia yang kalah, kelak kakek itu akan dapat terus menikmati pibu dengannya yang tentu akan menggembleng diri sampai dapat mengatasi kakek-kakek itu. Mengingat ini, dia harus mengalahkan Sam-lo-mo ini, maka dia menjawab,

"Maafkan dugaan saya yang ternyata keliru. Baiklah, saya menerima tantangan Sam-wi untuk berpibu dengan taruhan pusaka-pusaka ini. Akan tetapi, Sam-wi Locianpwe adalah tiga orang tokoh besar yang namanya sudah menjulang tinggi ke langit selama puluhan tahun, sedangkan saya hanyalah orang yang baru saja berkecimpung di dunia persilatan. Bukankah amat janggal dan lucu, juga amat tidak adil dan akan menjadi bahan tertawaan orang gagah di seluruh dunia kalau tiga orang tokoh besar dan tua seperti Sam-wi menggeroyok seorang hijau seperti saya?"

Tusukan kata-kata yang dilakukan Keng Hong ini benar-benar mengenai sasaran. Tiga orang kakek itu menjadi merah mukanya, saling pandang, kemudian si kakek sastrawan membentak,

"Cia Keng Hong, engkau memang sombong! Kau kira kami perlu maju bertiga hanya untuk menandingi seorang bocah macam engkau?"

Diam-diam Keng Hong menjadi girang. Biarpun mereka itu masing-masing merupakan lawan yang berat, namun kalau maju seorang demi seorang, agaknya dia akan dapat mengimbangi mereka. Kalau maju bertiga, benar-benar amat berbahaya. Cepat dia lalu mengeluarkan semua benda pusaka yang tadi dia periksa, dan dia letakkan di atas saputangan yang dia bentangkan di atas tanah.

"Nah, inilah taruhannya. Kalau aku Cia Keng Hong, murid Sin-jiu Kiam-ong, sampai kalah bertanding melawan seorang di antara Sam-wi, biarlah untuk sementara pusaka ini kutitipkan kepada Sam-wi. Akan tetapi kalau sekarang ini tidak ada seorang pun dari Sam-wi dapat mengalahkan aku, pusaka itu akan kubawa pergi dan Sam-wi tidak akan menggangguku lagi."

"Baik, baik.. Biarlah pinto mencobamu lebih dulu!" kata kakek yang berpakaian dan bersikap seperti pendeta.

"Silakan, Locianpwe."

Keng Hong meloncat ke belakang dan bersiap-siap. Melihat kakek tua renta berpakaian pendeta ini tidak mengeluarkan senjata, Keng Hong juga menghadapinya dengan tangan kosong. Diam-diam dia bersikap waspada dan memandang penuh perhatian. Dahulu dia sudah membaca tulisan-tulisan suhunya tentang inti ilmu-ilmu silat tinggi hampir seluruh partai persilatan dan pelbagai aliran. Pengertian tentang silat dan dasar ilmu-ilmu silat ini amat penting karena kalau dia sudah mengenal dasar ilmu silat lawan, tentu akan lebih mudah menghadapi dan mengatasinya.






"Cia Keng Hong, jaga serangan pinto!" kakek tua renta berpakaian tosu itu berkata dan tiba-tiba saja tubuhnya membuat gerakan menyerang dari bawah!

Tubuh kakek itu merendah seperti orang berjongkok, akan tetapi kedua kakinya bergerak cepat sekali dan tangan kirinya yang menyambar ke atas menuju ke pusar Keng Hong merasa dorongan hawa yang amat panas dan angin yang menyambar itu mengeluarkan bunyi menguik!

Keng Hong cepat menggerakkan kakinya mengelak ke kiri dan ketika secara aneh sekali tubuh yang memasang kuda-kuda berjongkok itu telah mengejar dengan pukulan susulan tangan kanan, Keng Hong terkejut dan melompat mundur untuk menghindar. Akan tetapi kembali dengan tubuh masih berjongkok, kakek itu tiba-tiba juga meloncat, posisi kedua kakinya masih ditekuk rendah.

Begitu tubuh kakek itu hinggap di tanah depan Keng Hong, kaki kirinya mencuat ke depan menendang dan seperti juga pukulannya, tendangan ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, disusul dengan dorongan-dorongan kedua tangan bertubi-tubi yang membuat Keng Hong terpaksa menggunakan ginkangnya untuk berloncatan ke sana ke mari dalam keadaan terdesak.

Ia masih bingung karena dia tidak mengerti dasar ilmu silat kakek ini! Amat aneh gerakan itu, seperti seekor ular merayap kadang-kadang menggeliat, lalu menyerang dari samping seperti ular menyabetkan ekornya, ada kalanya meluncur ke depan seperti ular menyerang dengan giginya.

Karena kedudukan tubuh kakek yang selalu bergerak di bawah itu, membuat Keng Hong agak sukar membalas serangan lawan. Apalagi karena serangan-serangan Thian-te Sam-lo-mo ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan penyerangan lawan-lawan biasa. Setiap serangan Thian-te Sam-lo-mo ini mengandung tenaga sinkang yang amat kuat dan yang hanya dapat dihadapi dengan pengerahan tenaga sinkang pula karena kalau tidak, baru angin pukulannya saja sudah cukup merobohkan lawan.

Setelah terdesak hebat sampai tiga puluhan jurus dan hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghadapi penyerangan dari bawah yang amat berbahaya itu sambil memperhatikan. Akhirnya Keng Hong dapat menilai dasar dari ilmu silat aneh yang dimainkan oleh Thian-to Lo-mo.

Jika orang bersilat dan menghadapi lawan secara biasa, wajarlah kalau di samping menyerang orang ini harus mengerahkan pula sebagian kepandaian dan perhatian untuk menjaga diri dari serangan balasan lawan bisa saja datang dari segala jurusan, juga yang dijaga adalah seluruh bagian tubuh dari kepala sampai kaki.

Akan tetapi, dengan cara bersilat seperti yang dilakukan kakek ke tiga dari Thian-te Sam-lo-mo ini, otomatis kakek itu hanya menjaga tubuh bagian atas saja karena bagian bawah tak mungkin diserang. Dengan demikian, tenaga dan perhatian yang dibutuhkan untuk menjaga diri tidaklah sebanyak kalau orang berdiri, dan sebagian besar dari tenaga dan perhatian dapat dicurahkan untuk penyerangan!

Disamping itu, Keng Hong juga mengenal gerakan-gerakan dan jurus-jurus seperti yang dipakai dalam Ilmu Silat sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), maka setelah mengetahui, dasar ilmu silat lawan, mengertilah dia bagaimana harus menghadapi lawan.

"Locianpwe, jaga serangan saya!"

Tiba-tiba Keng Hong berkata dan mulutnya lalu mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan hutan itu.

"Heiiiiihhhhhh!" tubuh pemuda ini sudah menerjang maju dan berputaran sehingga tubuhnya lenyap menjadi segulungan bayangan putih yang maju perlahan dengan kekuatan dahsyat sekali yang menyambar ke arah tubuh Thian-to Lo-mo yang setengah berjongkok dengan kaki kanan dilonjorkan ke depan.

Melihat datangnya serangan hebat ini dan bagaimana pemuda itu mengakhiri perputaran tubuhnya dengan menekuk kedua lutut rendah-rendah dan kedua lengannya membuat gerakan memutar ke depan sehingga ada angin pukulan yang amat kuat dan menyerangnya, kakek itu menjadi kaget bukan main.

Dia tidak tahu bahwa kini pemuda yang menjadi lawannya ini telah menggunakan jurus Soan-hong-liap-in (Angin Berpusing Mengejar Awan), yaitu sebuah jurus dari San-in-kunhoat yang sebanyak delapan jurus, akan tetapi yang merupakan ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya dari Sin-jiu Kiam-ong.

"Siancai...!"

Thian-to Lo-mo yang tadinya menangkis dengan tamparan kedua lengannya dan sudah siap membalas dengan tendangan, menjadi terkejut karena tubuhnya tiba-tiba terbawa oleh hawa yang berputar itu menariknya ke atas, seolah-olah kedua lengannya yang menangkis tadi terlibat oleh hawa pukulan lawan yang membetotnya ke atas.

Karena kaget, dia mengeluarkan seruan itu dan cepat sekali dia menggulingkan tubuhnya menjauhi lawan. Sambil bergulingan itu kedua tangannya bergerak dan

"wut-wut-wut-wut-wut-wut!" sinar-sinar hitam menyambar ke arah jalan darah di depan tubuh Keng Hong, bahkan ada yang menyambar ke arah matanya.

Keng Hong kagum sekali. Kakek itu tidak dapat terpancing oleh jurusnya Soan-hong-lian-in dan tidak mau mengubah kedudukannya yang merendahkan tubuh, malah bergulingan dan setiap kali bergulingan, tangannya menjumput tanah dan kerikil yang terus dia pergunakan sebagai senjata rahasia yang sungguh-sungguh tidak kalah berbahayanya daripada senjata rahasia runcing dan tajam!

Keng Hong tentu saja dapat menghindarkan sambaran "senjata rahasia" itu dengan mudahnya, hanya dengan menyampok tanah dan kerikil itu akan tetapi dia gagal menyerang lawan dan kini mengikuti senjata rahasianya yang tadi dia kirim sambil bergulingan, tubuh kakek itu sudah bergulingan dekat dan kembali dia menghujani Keng Hong dengan serangan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang amat dahsyat.

"Aihhhhh!"

Keng Hong berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas, kemudian dia membuat gerakan berjungkir-balik tujuh kali dan tubuhnya meluncur ke bawah setelah menukik dan dengan tenaga yang amat dahsyat dia menerjang lawan dari atas seperti seekor burung garuda menyambar ular!

Inilah jurus ke delapan dari San-in-kun-hoat yang disebut In-keng-hong-i (Awan Menggetarkan Angin dan Hujan). Dahulu, sebelum dia mendapatkan pusaka-pusaka gurunya dan ilmu silat yang dia dapatkan dari puncak Kiam-kok-san hanyalah San-in-kunhoat dan ilmu kepandaiannya itu masih dangkal dan mentah, dengan jurus in-keng-hong-I ini dia sudah mampu membuat Kian Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang lihai itu, menjadi terkejut dan kewalahan.

Sekarang, dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu itu, kepandaiannya sudah meningkat hebat dan ilmu silatnya sudah matang. Maka dapatlah dibayangkan betapa dahsyatnya ketika dia menggunakan jurus terakhir dari San-in-kun-hoat ini.

"Bukan main..."

Kakek sastrawan terbelalak kagum dan biarpun kakek ini tahu betapa hebatnya serangan pemuda ini dan bahwa sutenya terancam bahaya, namun sedikitpun dia tidak menaruh khawatir. Kalah atau mati sekalipun bagi tiga orang kakek yang sudah lanjut usianya ini bukan merupakan hal yang mengkhawatirkan.

"Heh-heh-heh, hebat... hebat... kau awaslah Sute terhadap serangan itu!"

Teriak pula si kakek jembel bukan karena khawatir melainkan karena gembira dan ingin sekali menikmati dengan pandang matanya bagaimana kakek berpakaian pendeta yang menjadi sutenya itu akan menyambut serangan dahsyat dari jurus aneh itu.

Tubuh Keng Hong meluncur ke arah Thian-to Lo-mo yang masih memasang kuda-kuda dengan tubuh rendah sehingga terpaksa kakek ini mengangkat muka untuk melihat datangnya serangan dari atas.

Tadinya, tubuh Keng Hong menukik seperti seekor naga, kepala dan kedua tangan di depan, kaki di belakang, akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba dia melakukan gerakan jungkir-balik dan sekali membalik dia telah menyerang lawan dengan kedua tangan dan kaki secara bertubi-tubi.

Dengan kecepatan yang luar biasa, kedua kakinya susul-menyusul melakukan tendangan ke arah belakang telinga dan tenggorokan lawan, kemudian kedua tangannya siap untuk memukul dada dan menampar ubun-ubun! Semua gerakan ini dilakukan dengan cepat dan juga dengan tenaga sinkang yang dahsyat sehingga merupakan terjangan maut yang sukar dihindarkan lawan.

"Hayaaaaa...!"

Thian-to Lo-mo berseru kaget. Baru hawa pukulan yang menyambar saja sudah membuat kulit tubuhnya yang tak tertutup pakaian terasa panas dan pandang matanya kabur menyaksikan cepatnya gerakan kedua kaki Keng Hong.

Namun, Thian-to Lo-mo bukanlah tokoh silat sembarang saja. ia maklum bahwa kalau dia mengelak secara tadi dengan menggulingkan tubuh, selain belum tentu dapat menghindarkan kedua tendangan susul-menyusul itu tentu akan celaka oleh serangan susulan yang dia tahu pasti akan datang. Maka dia cepat menaikkan tubuhnya dan menerima kedua tendangan itu dengan tangkisan kedua lengannya sambil mengerahkan tenaganya dengan maksud agar tubuh pemuda itu akan terbanting ke samping sehingga selain tidak akan mampu melanjutkan serangan susulan, juga tentu dia akan cepat menubruk dan membalas.

Memang niat atau akal kakek ini beralasan. Dia memang tahu bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang hebat dan belum tentu kalah oleh kekuatannya sendiri, namun betapapun kuatnya, kalau tubuh lawan itu berada di udara tentu tidak akan mampu menandingi kekuatannya yang dapat dikerahkan dengan kedua kaki di atas tanah. Bumi merupakan pusat kekuatan dalam tubuh manusia, menjadi landasan pengerahan tenaga.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: