"Wah-wah-wah, apakah Sicu hendak menghina adik iparmu? Pada saat ini, siapakah yang lebih terhormat daripada mempelai wanita? Hayo, katakan yang lebih terhormat daripada mempelai wanita? Aku menuntut agar mempelai wanita diperkenalkan, tidak hanya wajahmya, akan tetapi juga nama dan julukannya. Aku mendengar desas-desus bahwa mempelai wanita tidak kalah terkenal dari mempelai pria!"
Kakek jembel itu mendesak terus dan karena ucapannya ini menarik perhatian, maka para tamu juga ingin tahu dan mengangguk-angguk membenarkan. Bahkan diam-diam Cong San sendiri juga ingin sekali melihat, karena dalam keadaan tertutup tirai seperti itu sukar bagi Cong San untuk mengenal Cui Im
Phu-niu-san tampak berbisik-bisik dengan mempelai wanita yang mengangguk perlahan, kemudian mempelai pria ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar tamu tidak berisik. Setelah semua orang diam, dia lalu berkata,
"Terima kasih atas perhaitan Cui-wi sekalian yang ingin mengenal wajah dan nama isteriku. Dan memang sesungguhnya sudah sepatutnya kalau isteriku memperkenalkan diri, sungguhpun tadinya kami bermaksud untuk memenuhi tuntutan upacara bagi seorang mempelai wanita untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi, mengingat bahwa kita berada di antara teman-teman segolongan dan isteriku pun bukan seorang yang tidak terkenal, maka saya mempersilakan isteri saya untuk memperkenalkan diri sendiri kepada Cu-wi!”
Ia menoleh kepada isterinya yang segera bangkit berdiri dan perlahan-lahan tangan yang berkulit halus putih itu menyingkap tirai benang emas keatas kepala dan terus ke belakang sehingga wajahnya tampak jelas.
Semua tamu memandang dengan melongo saking kagumnya melihat wajah yang amat cantik jelita itu, dengan mulut tersenyum manis sekali. Semua orang diam menahan napas dan tidak mengeluarkan suara ketika mempelai wanita berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring,
"Cu-wi sekalian mungkin ada yang sudah pernah mendengar nama saya. Sebelum menjadi isteri Sancu sekarang ini, saya dikenal sebagai Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek!"
Para tamu menjadi kaget dan terdengarlah suara bisik-bisik sehingga keadaan menjadi berisik sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan hijau dan tahu-tahu Yap Cong San sudah berdiri di ruang kehormatan menghadapi tuan rumah dan para tamu kehormatan, sikapnya tenang namun pandang matanya penuh semangat dan keberanian.
"Harap sancu dan para tamu suka memaafkan saya, akan tetapi saya mempunyai urusan pribadi dengan mempelai wanita. Karena saya tidak ingin menodai nama orang lain di tempat terhormat ini, saya persilakan kepada Ang-kiam Bu-tek untuk memenuhi tantangan saya untuk membereskan perhitungan di luar ruangan ini!"
Sambil berkata demikian Cong San menghadapi Cui Im dan memandang dengan sinar mata tajam. Cui Im membelalakkan mata, mengangkat alis dan tersenyum, diam-diam timbul kembali gairah hatinya. Pemuda yang disangkanya seorang yang lemah itu ternyata adalah murid Siauw-lim-pai yang amat gagah perkasa. Tentu saja dia tidak takut akan tetapi dia diam saja, ingin melihat reaksi suaminya dan para tamu. Karena dia tidak melihat Keng hong datang bersama Cong San, dia tenang-tenang saja. Hanya Keng Hong yang ia takuti, dan karena takut akan Keng Honglah maka ia lalu menggabungkan diri di Phu-niu-san bahkan rela menjadi isteri Lian Ci Sengjin.
Sementara itu, Lian Ci Sengjin sudah melompat bangun dan dengan mata melotot menghadapi Cong San, menudingkan telunjuknya dan memaki,
"Keparat jahanam bermulut kotor! Siapakah engkau berani bersikap seperti ini, menghina isteriku?"
Cong San tersenyum.
"Sancu, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak ingin menodai nama baikmu dan nama baik orang lain. Akan tetapi karena engkau bersikap begini, apakah aku harus menceritakan urusanku dengan Ang-kiam Bu-tek?"
"Seorang laki-laki gagah tidak akan menyembunyikan sesuatu! Kalau memang ada urusan hayo katakan saja, siapa hendak menyimpan rahasia?"
Lian Ci Sengjin membentak, mukanya merah sekali, kedua tangan mengepal seakan-akan dia sudah ingin menghantam remuk kepala pemuda itu. Semua tamu memandang heran dan khawatir. Apakah ada hubungan antara pemuda tampan baju hijau dengan mempelai wanita? Jangan-jangan bekas kekasihnya. Bisa ribut kalau begitu!
Biarpun di hatinya Lian Ci Sengjin ada dugaan seperti ini pula melihat ketampanan wajah pemuda itu, namun dia tidak merasa khawatir andaikata rahasia itu dibuka, karena dia sendiri adalah seorang yang jauh lebih tua daripada isterinya sehingga hal-hal mengenai percintaan isterinya dengan pria lain yang telah lewat tidak diperdulikannya.
Cong San menghela napas, lalu berkata,
"Sancu, saya bernama Yap Cong San, seorang anak murid Siauw-lim-pai. Saya tidak tahu bagaimana Sancu sebagai tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, juga para enghiong dari Tiat-ciang-pang dan tamu terhormat, sampai bisa kemasukan seorang seperti dia ini!" Ia menuding ke arah Cui Im yang masih duduk tersenyum-senyum, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im adalah seorang wanita iblis, dan aku sengaja datang mencarinya untuk membalas kematian murid Siauw-lim-pai yang dibunuh olehnya!"
Mendengar bahwa pemuda ini murid Siauw-li-pai, keadaan makin tegang. Nama besar Siauw-lim-pai amat dikenal, bahkan Lian Ci Sengjin sendiri sebagai tokoh atau bekas tokoh Kun-lun-pai mengenal pengaruh Siauw-lim-pai dan dapat melihat gawatnya persoalan, sehingga dia merasa ragu-ragu untuk berlaku lancang, bahkan lalu menoleh kepada isterinya seperti hendak menyerahkan keputusan mengenai diri pemuda ini kepada isterinya.
"Harap kau duduk," kata Cui Im lirih kepada suaminya, kemudian ia memandang ke arah tamu-tamu dengan wajahnya yang cerah, senyumnya yang manis dan sikapnya yang amat tenang seolah-olah ia menganggap kehadiran Cong San seperti gangguan seorang bocah nakal yang tidak banyak artinya.
"Cu-wi sekalian maklum bahwa bocah ini datang mencari penyakit, datang-datang menghina orang. Karena saat ini aku disebut nona pengantin, akan memalukan sekali kalau turun tangan sendiri. Siapakah di antara Cu-wi sekalian yang sudi mewakili aku memberi hajaran dan mengusir bocah lancang ini dari sini?"
"Kami sanggup...."
"Biarkan kami mengusir anjing itu!"
Semua orang memandang dan ternyata yang maju adalah tiga orang berpakaian sastrawan yang tadi datang bersama Cong San, Bun-bu Sam-taihiap, (Tiga Orang Pendekar Ahli Sastra)! Dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah tiga orang itu naik ke ruangan besar dan mereka menjura ke arah Cui Im. Si tahi lalat lalu berkata mewakili dua orang saudaranya,
"Kami Siangkoan Sam-heng-te yang dijuluki orang Bun-bu Sam-taihiap mengharap agar Toanio tidak mencapekkan diri dan duduk saja menonton kami mewakili Toanio memberi hajaran kepada bocah lancang mulut ini!"
Cui Im diam-diam merasa geli hatinya dan memandang rendah tiga orang ini, akan tetapi ia memberikan senyum manis semanis-manisnya kepada tiga orang itu dan berkata merdu,
"Siangkoan taihiap bertiga sudi membantuku, sungguh besar budi yang kuterima. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih."
Melihat bibir merah basah merekah di sertai kerling mata menyambar dan senyum yang memperlihatkan kilatan gigi bersih berderet rapi, tiga orang itu menjadi bengong sehingga sampai lupa sejenak untuk apa mereka berdiri di situ, hanya memandang ke arah wajah yang mempesona itu! Akhirnya mereka sadar dan cepat membalikkan tubuh menghadapi Cong San yang masih berdiri tenang.
"Eh, engkau she Yap! Kalau tahu bahwa engkau ternyata seorang manusia jahat yang datang-datang menghina nyonya rumah, tentu tadi-tadi telah kami hajar!" kata si tahi lalat sambil menudingkan telunjuknya ke muka Cong San.
Cong San tersenyum dan menjawab,
"Harap Sam-wi tidak mencampuri urursan ini. Saya sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan siapapun juga. Kedatanganku memang khusus untuk membuat perhitungan dengan Ang-kiam Bu-tek yang telah membunuh suhengku, seorang murid Siauw-lim-pai. Harap Sam-wi minggir, aku tidak bermusuhan dengan Sam-wi."
"Pengecut!" Si mata sipit memaki. "Beraninya menantang seorang wanita. Kalau memang kau jantan, hayo lawan aku!"
Diam-diam Cong San mendongkol.
"Aku tidak mau menyerang Sam-wi, akan tetapi kalau Sam-wi memaksa hendak menyerangku, silakan, tidak usah satu-satu, boleh maju bertiga."
Panas rasa perut tiga orang itu. Dengan gerakan penuh aksi mereka memasang bhesi. Lalu menggeser-geser kedua kaki dan mainkan tangan seperti orang menari. Hati Cong San menjadi sebal karena tiga orang ini jelas masih rendah kepandaiannya dan hanya pandai berlagak sambil mainkan ilmu silat kembang yang hanya indah dipandang namun sebetulnya kosong dan tidak berarti kalau dipakai bertanding.
Ia sengaja berdiri seenaknya bahkan matanya tidak memandang mereka, melainkan memandang kepada Cui Im dengan penuh kebencian. Ia melihat Cui Im tersenyum mengejek dan tiba-tiba Cong San yang tadinya marah dan mendongkol kepada tiga orang itu menjadi kasihan. Mereka ini menjadi korban senyuman manis Cui Im sehingga tanpa mengenal diri mereka rela terjun mewakili wanita itu.
Padahal, tentu saja sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi Cui Im maklum bahwa tiga orang ini dangkal ilmunya, mengapa wanita itu demikian kejam membiarkan mereka itu menghadapi bahaya dan bahkan menjadi buah tertawaan? Padahal tentu saja Cui Im bisa mencegah mereka turun tangan mewakilinya? Betapapun Cong San ingin pula menundukkan tiga orang yang sombong ini.
"Heeeiiiiiittttt!!"
"Hyyyaaatttttt!!"
Tiga orang itu dengan lagak hebat sudah menyerang Cong San dengan pukulan-pukulan mereka. Cong San dengan tetap tidak bergerak, hanya menggerakkan sinkang menerima pukulan-pukulan ke arah dada, punggung dan lambung kanan itu.
"Bukkk! Bukkk! Bukkk!
"Hayaaaaaa..!"
Tiga orang itu menjerit kesakitan dan ternyata tangan mereka yang memukul telah menjadi bengkak karena Cong San menggunakan sinkang untuk melawan keras sama keras sehingga mereka seperti memukul tubuh yang terbuat daripada baja!
Tiga orang sastrawan konyol itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi Cong San yang tidak memberi kesempatan mereka memperpanjang aksi mereka di situ, sudah menggerakkan kaki dan tiga kali ia menendang membuat tubuh mereka terlempar turun dari ruangan itu, jatuh terbanting menabrak meja kursi mengaduh-aduh, merayap bangun dan lari keluar tanpa pamit lagi.
"Huah-ha-ha-ha-ha-ha! Lian Ci Sengjin, mengapa tamumu begitu konyol? Apakah memang engkau mengundang tiga orang badut itu untuk melawak di sini? Ha-ha-ha!" Kakek jembel, orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo, tertawa bergelak.
Lian Ci Sengjin terkejut menyaksikan kelihaian pemuda baju hijau tadi, dan maklumlah dia bahwa untuk menghadapi pemuda itu harus dia sendiri yang maju. Ia sudah bangkit dan berkata,
"Biar kuhajar sendiri dia!"
Akan tetapi Cui Im sudah menahan lengan suaminya dan memandang kakek jembel sambil berkata,
"Sudah lama aku mendengar akan nama besar Thian-te Sam-lo-mo yang berjumlah tiga orang pula. Jangan-jangan tidak bedanya dengan tiga orang badut tadi? Locianpwe, pemuda baju hijau bernama Yap Cong San ini adalah murid Tiong Pek Hosiang, apakah Sam-wi Locianpwe berani menghadapinya?"
Kakek jembel itu tertawa lagi.
"Waduh-waduh, kiranya nona pengantin adalah seorang yang begini cerdik, hendak menyeret kami masuk ke dalam api permusuhan yang panas! Kami tidak takut siapa-siapa, akan tetapi kami sudah bosan bermusuhan. Kami hanya mau bertanding untuk mengukur kepandaian Pemuda ini tidak ada nama besar, tidak seperti nona pengantin yang julukannya menjulang tinggi sampai ke langit. Kalau sudah berani menggunakan julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), tentu sudah dapat menandingi Bu-tek Su-kwi!"
Cui Im adalah seorang cerdik dan tadi ia berusaha memanaskan hati Thian-te Sam-lo-mo untuk menghadapi Cong San. Siapa kira, kakek jembel itu kiranya lebih cerdik dan lebih berpengalaman sehingga bukan dia yang berhasil membakar, bahkan dia sendiri yang kini dibakar hatinya. Cui Im tersenyum mengejek dan mendengus dengan menghina,
"Bu-tek Su-kwi? Huh, apa sih mereka? Tokoh utamanya, Lam-hai Sin-ni dengan mudah tewas di tanganku!"
Kakek jembel itu mendesak terus dan karena ucapannya ini menarik perhatian, maka para tamu juga ingin tahu dan mengangguk-angguk membenarkan. Bahkan diam-diam Cong San sendiri juga ingin sekali melihat, karena dalam keadaan tertutup tirai seperti itu sukar bagi Cong San untuk mengenal Cui Im
Phu-niu-san tampak berbisik-bisik dengan mempelai wanita yang mengangguk perlahan, kemudian mempelai pria ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat agar tamu tidak berisik. Setelah semua orang diam, dia lalu berkata,
"Terima kasih atas perhaitan Cui-wi sekalian yang ingin mengenal wajah dan nama isteriku. Dan memang sesungguhnya sudah sepatutnya kalau isteriku memperkenalkan diri, sungguhpun tadinya kami bermaksud untuk memenuhi tuntutan upacara bagi seorang mempelai wanita untuk menutupi wajahnya. Akan tetapi, mengingat bahwa kita berada di antara teman-teman segolongan dan isteriku pun bukan seorang yang tidak terkenal, maka saya mempersilakan isteri saya untuk memperkenalkan diri sendiri kepada Cu-wi!”
Ia menoleh kepada isterinya yang segera bangkit berdiri dan perlahan-lahan tangan yang berkulit halus putih itu menyingkap tirai benang emas keatas kepala dan terus ke belakang sehingga wajahnya tampak jelas.
Semua tamu memandang dengan melongo saking kagumnya melihat wajah yang amat cantik jelita itu, dengan mulut tersenyum manis sekali. Semua orang diam menahan napas dan tidak mengeluarkan suara ketika mempelai wanita berkata dengan suaranya yang merdu dan nyaring,
"Cu-wi sekalian mungkin ada yang sudah pernah mendengar nama saya. Sebelum menjadi isteri Sancu sekarang ini, saya dikenal sebagai Bhe Cui Im yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek!"
Para tamu menjadi kaget dan terdengarlah suara bisik-bisik sehingga keadaan menjadi berisik sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan hijau dan tahu-tahu Yap Cong San sudah berdiri di ruang kehormatan menghadapi tuan rumah dan para tamu kehormatan, sikapnya tenang namun pandang matanya penuh semangat dan keberanian.
"Harap sancu dan para tamu suka memaafkan saya, akan tetapi saya mempunyai urusan pribadi dengan mempelai wanita. Karena saya tidak ingin menodai nama orang lain di tempat terhormat ini, saya persilakan kepada Ang-kiam Bu-tek untuk memenuhi tantangan saya untuk membereskan perhitungan di luar ruangan ini!"
Sambil berkata demikian Cong San menghadapi Cui Im dan memandang dengan sinar mata tajam. Cui Im membelalakkan mata, mengangkat alis dan tersenyum, diam-diam timbul kembali gairah hatinya. Pemuda yang disangkanya seorang yang lemah itu ternyata adalah murid Siauw-lim-pai yang amat gagah perkasa. Tentu saja dia tidak takut akan tetapi dia diam saja, ingin melihat reaksi suaminya dan para tamu. Karena dia tidak melihat Keng hong datang bersama Cong San, dia tenang-tenang saja. Hanya Keng Hong yang ia takuti, dan karena takut akan Keng Honglah maka ia lalu menggabungkan diri di Phu-niu-san bahkan rela menjadi isteri Lian Ci Sengjin.
Sementara itu, Lian Ci Sengjin sudah melompat bangun dan dengan mata melotot menghadapi Cong San, menudingkan telunjuknya dan memaki,
"Keparat jahanam bermulut kotor! Siapakah engkau berani bersikap seperti ini, menghina isteriku?"
Cong San tersenyum.
"Sancu, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak ingin menodai nama baikmu dan nama baik orang lain. Akan tetapi karena engkau bersikap begini, apakah aku harus menceritakan urusanku dengan Ang-kiam Bu-tek?"
"Seorang laki-laki gagah tidak akan menyembunyikan sesuatu! Kalau memang ada urusan hayo katakan saja, siapa hendak menyimpan rahasia?"
Lian Ci Sengjin membentak, mukanya merah sekali, kedua tangan mengepal seakan-akan dia sudah ingin menghantam remuk kepala pemuda itu. Semua tamu memandang heran dan khawatir. Apakah ada hubungan antara pemuda tampan baju hijau dengan mempelai wanita? Jangan-jangan bekas kekasihnya. Bisa ribut kalau begitu!
Biarpun di hatinya Lian Ci Sengjin ada dugaan seperti ini pula melihat ketampanan wajah pemuda itu, namun dia tidak merasa khawatir andaikata rahasia itu dibuka, karena dia sendiri adalah seorang yang jauh lebih tua daripada isterinya sehingga hal-hal mengenai percintaan isterinya dengan pria lain yang telah lewat tidak diperdulikannya.
Cong San menghela napas, lalu berkata,
"Sancu, saya bernama Yap Cong San, seorang anak murid Siauw-lim-pai. Saya tidak tahu bagaimana Sancu sebagai tokoh Kun-lun-pai yang terkenal, juga para enghiong dari Tiat-ciang-pang dan tamu terhormat, sampai bisa kemasukan seorang seperti dia ini!" Ia menuding ke arah Cui Im yang masih duduk tersenyum-senyum, "Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im adalah seorang wanita iblis, dan aku sengaja datang mencarinya untuk membalas kematian murid Siauw-lim-pai yang dibunuh olehnya!"
Mendengar bahwa pemuda ini murid Siauw-li-pai, keadaan makin tegang. Nama besar Siauw-lim-pai amat dikenal, bahkan Lian Ci Sengjin sendiri sebagai tokoh atau bekas tokoh Kun-lun-pai mengenal pengaruh Siauw-lim-pai dan dapat melihat gawatnya persoalan, sehingga dia merasa ragu-ragu untuk berlaku lancang, bahkan lalu menoleh kepada isterinya seperti hendak menyerahkan keputusan mengenai diri pemuda ini kepada isterinya.
"Harap kau duduk," kata Cui Im lirih kepada suaminya, kemudian ia memandang ke arah tamu-tamu dengan wajahnya yang cerah, senyumnya yang manis dan sikapnya yang amat tenang seolah-olah ia menganggap kehadiran Cong San seperti gangguan seorang bocah nakal yang tidak banyak artinya.
"Cu-wi sekalian maklum bahwa bocah ini datang mencari penyakit, datang-datang menghina orang. Karena saat ini aku disebut nona pengantin, akan memalukan sekali kalau turun tangan sendiri. Siapakah di antara Cu-wi sekalian yang sudi mewakili aku memberi hajaran dan mengusir bocah lancang ini dari sini?"
"Kami sanggup...."
"Biarkan kami mengusir anjing itu!"
Semua orang memandang dan ternyata yang maju adalah tiga orang berpakaian sastrawan yang tadi datang bersama Cong San, Bun-bu Sam-taihiap, (Tiga Orang Pendekar Ahli Sastra)! Dengan langkah dibuat-buat agar tampak gagah tiga orang itu naik ke ruangan besar dan mereka menjura ke arah Cui Im. Si tahi lalat lalu berkata mewakili dua orang saudaranya,
"Kami Siangkoan Sam-heng-te yang dijuluki orang Bun-bu Sam-taihiap mengharap agar Toanio tidak mencapekkan diri dan duduk saja menonton kami mewakili Toanio memberi hajaran kepada bocah lancang mulut ini!"
Cui Im diam-diam merasa geli hatinya dan memandang rendah tiga orang ini, akan tetapi ia memberikan senyum manis semanis-manisnya kepada tiga orang itu dan berkata merdu,
"Siangkoan taihiap bertiga sudi membantuku, sungguh besar budi yang kuterima. Sebelumnya saya mengucapkan banyak terima kasih."
Melihat bibir merah basah merekah di sertai kerling mata menyambar dan senyum yang memperlihatkan kilatan gigi bersih berderet rapi, tiga orang itu menjadi bengong sehingga sampai lupa sejenak untuk apa mereka berdiri di situ, hanya memandang ke arah wajah yang mempesona itu! Akhirnya mereka sadar dan cepat membalikkan tubuh menghadapi Cong San yang masih berdiri tenang.
"Eh, engkau she Yap! Kalau tahu bahwa engkau ternyata seorang manusia jahat yang datang-datang menghina nyonya rumah, tentu tadi-tadi telah kami hajar!" kata si tahi lalat sambil menudingkan telunjuknya ke muka Cong San.
Cong San tersenyum dan menjawab,
"Harap Sam-wi tidak mencampuri urursan ini. Saya sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan siapapun juga. Kedatanganku memang khusus untuk membuat perhitungan dengan Ang-kiam Bu-tek yang telah membunuh suhengku, seorang murid Siauw-lim-pai. Harap Sam-wi minggir, aku tidak bermusuhan dengan Sam-wi."
"Pengecut!" Si mata sipit memaki. "Beraninya menantang seorang wanita. Kalau memang kau jantan, hayo lawan aku!"
Diam-diam Cong San mendongkol.
"Aku tidak mau menyerang Sam-wi, akan tetapi kalau Sam-wi memaksa hendak menyerangku, silakan, tidak usah satu-satu, boleh maju bertiga."
Panas rasa perut tiga orang itu. Dengan gerakan penuh aksi mereka memasang bhesi. Lalu menggeser-geser kedua kaki dan mainkan tangan seperti orang menari. Hati Cong San menjadi sebal karena tiga orang ini jelas masih rendah kepandaiannya dan hanya pandai berlagak sambil mainkan ilmu silat kembang yang hanya indah dipandang namun sebetulnya kosong dan tidak berarti kalau dipakai bertanding.
Ia sengaja berdiri seenaknya bahkan matanya tidak memandang mereka, melainkan memandang kepada Cui Im dengan penuh kebencian. Ia melihat Cui Im tersenyum mengejek dan tiba-tiba Cong San yang tadinya marah dan mendongkol kepada tiga orang itu menjadi kasihan. Mereka ini menjadi korban senyuman manis Cui Im sehingga tanpa mengenal diri mereka rela terjun mewakili wanita itu.
Padahal, tentu saja sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi Cui Im maklum bahwa tiga orang ini dangkal ilmunya, mengapa wanita itu demikian kejam membiarkan mereka itu menghadapi bahaya dan bahkan menjadi buah tertawaan? Padahal tentu saja Cui Im bisa mencegah mereka turun tangan mewakilinya? Betapapun Cong San ingin pula menundukkan tiga orang yang sombong ini.
"Heeeiiiiiittttt!!"
"Hyyyaaatttttt!!"
Tiga orang itu dengan lagak hebat sudah menyerang Cong San dengan pukulan-pukulan mereka. Cong San dengan tetap tidak bergerak, hanya menggerakkan sinkang menerima pukulan-pukulan ke arah dada, punggung dan lambung kanan itu.
"Bukkk! Bukkk! Bukkk!
"Hayaaaaaa..!"
Tiga orang itu menjerit kesakitan dan ternyata tangan mereka yang memukul telah menjadi bengkak karena Cong San menggunakan sinkang untuk melawan keras sama keras sehingga mereka seperti memukul tubuh yang terbuat daripada baja!
Tiga orang sastrawan konyol itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi Cong San yang tidak memberi kesempatan mereka memperpanjang aksi mereka di situ, sudah menggerakkan kaki dan tiga kali ia menendang membuat tubuh mereka terlempar turun dari ruangan itu, jatuh terbanting menabrak meja kursi mengaduh-aduh, merayap bangun dan lari keluar tanpa pamit lagi.
"Huah-ha-ha-ha-ha-ha! Lian Ci Sengjin, mengapa tamumu begitu konyol? Apakah memang engkau mengundang tiga orang badut itu untuk melawak di sini? Ha-ha-ha!" Kakek jembel, orang tertua dari Thian-te Sam-lo-mo, tertawa bergelak.
Lian Ci Sengjin terkejut menyaksikan kelihaian pemuda baju hijau tadi, dan maklumlah dia bahwa untuk menghadapi pemuda itu harus dia sendiri yang maju. Ia sudah bangkit dan berkata,
"Biar kuhajar sendiri dia!"
Akan tetapi Cui Im sudah menahan lengan suaminya dan memandang kakek jembel sambil berkata,
"Sudah lama aku mendengar akan nama besar Thian-te Sam-lo-mo yang berjumlah tiga orang pula. Jangan-jangan tidak bedanya dengan tiga orang badut tadi? Locianpwe, pemuda baju hijau bernama Yap Cong San ini adalah murid Tiong Pek Hosiang, apakah Sam-wi Locianpwe berani menghadapinya?"
Kakek jembel itu tertawa lagi.
"Waduh-waduh, kiranya nona pengantin adalah seorang yang begini cerdik, hendak menyeret kami masuk ke dalam api permusuhan yang panas! Kami tidak takut siapa-siapa, akan tetapi kami sudah bosan bermusuhan. Kami hanya mau bertanding untuk mengukur kepandaian Pemuda ini tidak ada nama besar, tidak seperti nona pengantin yang julukannya menjulang tinggi sampai ke langit. Kalau sudah berani menggunakan julukan Bu-tek (Tanpa Tanding), tentu sudah dapat menandingi Bu-tek Su-kwi!"
Cui Im adalah seorang cerdik dan tadi ia berusaha memanaskan hati Thian-te Sam-lo-mo untuk menghadapi Cong San. Siapa kira, kakek jembel itu kiranya lebih cerdik dan lebih berpengalaman sehingga bukan dia yang berhasil membakar, bahkan dia sendiri yang kini dibakar hatinya. Cui Im tersenyum mengejek dan mendengus dengan menghina,
"Bu-tek Su-kwi? Huh, apa sih mereka? Tokoh utamanya, Lam-hai Sin-ni dengan mudah tewas di tanganku!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar