Memang watak yang aneh dan juga sukar sekali yang dimiliki Cui Im. Tadi dia merasa jemu melihat semua pemuda memandangnya penuh kagum dan gairah. Kini bertemu dengan seorang pria yang tidak memandangnya dengan kagum dan gairah, ia menjadi penasaran dan mendongkol!
Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan juga sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah.
Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu, Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan.
Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang mau makan. Melihat isyarat itu ia lalu menggerakkan tubuh membungkuk dan mengangkat kedua tangan di dada sebagai ucapan terima kasih dan minta maaf sekaligus, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi.
Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Ia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan kagum atau tertarik. Betapa sukarnya mencari pemuda yang memang sudah mengaguminya, kadang-kadang membosankan. Belum pernah ia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya
Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan semacam masakan bersama seguci arak.
Setelah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi menawarinya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu sedang asyik makan sehingga dia mendapat alasan untuk tidak menawarkan, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya dan tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu!
Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih.
Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan, sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya!
Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan. Cui Im tersenyum lalu berkata lirih,
"Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak."
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk dan menjawab lirih,
"Terima kasih."
Kemudian mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena dia merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang.
Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang takkan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya!
Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya! Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus dan lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan sinar matanya yang penuh pancaran kasih. Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya dia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita.
Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Harus ia dapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong.
Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, ia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda. Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apalagi memintanya!
Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi makin heran. Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tidak menyenangkan, sungguhpun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu.
Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa. Karena tertarik, ketika dia selesai makan dan memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,
"Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk disitu tadi?"
Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu memandang pemuda itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggeleng kepala!
"Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemmm... sungguh aneh dunia ini... Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek.."
Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seolah-olah merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek.
Pemuda itu lalu mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya!
Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti lari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya,
"Siangkong, harap berhenti dulu...!"
Pemuda itu dapat menduga siapa yang menegurnya sungguhpun di dalam hati dia merasa terheran, maka ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi kaget. Ia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,
"Ah, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?"
Kembali Cui Im kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus. Akan tetapi ia mengusir keraguannya dan tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, ia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan kendali kuda di tangan ia membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,
"Tidak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya meerupakan seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku.." Cui Im menutupi mukanya untuk menyembunyikan senyum lebar, "aku bernama Bhe Cui Im..."
"Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolol-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San."
"Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya.." kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi, "Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?"
"Hemmm....., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah seorang yang amat bodoh..."
"Eh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentulah seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini.. eh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?"
"Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan."
"Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong.."
"Jangan merepotkan diri, Nona. Sesunguhnya saya... saya merasa amat malu menganggu Nona. Apalagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang bicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya…"
"Hemmm.... hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!"
Cui Im sengaja menengok sekelilingnya dan Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.
"Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini.”
"Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!"
Pemuda ini kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum,
"Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak."
Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat mahal. Diam-diam ia menghitung bekalnya yang tidak banyak.
Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok sehingga pinggangnya hampir patah.
"Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan kehormatan besar mendapat kunjungan Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?" kata kuasa hotel itu tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San.
Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu.
"Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap kau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula."
"Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!" Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San.
Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im,
"Banyak terima kasih, Nona."
"Ah, diantara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?" bantah Cui Im “mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti."
Pesanan makanan Cui Im datang lebih dulu dan dengan sikap amat hormat dan ramah, dua orang pelayan mengatur hidangan itu di atas meja di depan Cui Im. Pemuda baju hijau itu terpaksa memandang, bukan untuk mengagumi wajah Cui Im, melainkan karena bau sedap masakan yang mengepul itu menambah perih perutnya yang amat lapar, dan juga sikap dua orang pelayan yang menjilat-jilat, banyaknya hidangan yang sampai tujuh macam di piring dan mangkok besar itulah.
Akan tetapi Cui Im memandang wajah pemuda itu dan ketika dua orang pelayan sudah meninggalkan meja dan kebetulan pandang mata mereka bertemu, Cui Im memandang mesra penuh daya pikat, bibirnya yang manis tersenyum dan mengangguk sedikit memberi isyarat menawarkan.
Merah wajah pemuda itu, Ia merasa telah melakukan hal tidak pantas, memandang orang mau makan. Melihat isyarat itu ia lalu menggerakkan tubuh membungkuk dan mengangkat kedua tangan di dada sebagai ucapan terima kasih dan minta maaf sekaligus, kemudian menundukkan muka tidak berani memandang lagi.
Sampai lama jari-jari tangan Cui Im menjepit tanpa mulai makan. Ia terus memandang pemuda itu, hatinya tertarik sekali. Sikap pemuda itu begitu lemah lembut, begitu sopan dan sama sekali tidak memperlihatkan kagum atau tertarik. Betapa sukarnya mencari pemuda yang memang sudah mengaguminya, kadang-kadang membosankan. Belum pernah ia mendapatkan penyerahan diri seorang pria yang tadinya memandang rendah kepadanya. Betapa akan mesranya kalau pemuda sopan dan tak acuh atas kecantikannya seperti pemuda di depannya itu akhirnya menyerah dalam pelukannya! Betapa akan terasa bangga hatinya
Seorang pelayan datang membawa bak terisi makanan yang dipesan pemuda itu. Cukup seorang saja yang melayaninya karena yang dipesannya pun hanya nasi, bakmi dan semacam masakan bersama seguci arak.
Setelah hidangan di atur di meja dan pelayan mempersilakannya makan, pemuda itu agaknya teringat kepada Cui Im yang tadi menawarinya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia diam saja maka lebih dulu mengerling ke arah meja gadis cantik itu yang tentu sedang asyik makan sehingga dia mendapat alasan untuk tidak menawarkan, akan tetapi mukanya menjadi merah sekali ketika dia melihat bahwa gadis itu hanya memegang sumpit dan belum mulai makan, bahkan sedang memandanginya dan tersenyum ketika pandang mata mereka bertemu!
Dengan sikap canggung dan tersipu pemuda itu mengangguk untuk menawarkan, dibalas oleh Cui Im yang tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih.
Tiba-tiba pemuda itu melihat Cui Im mengambil sebuah di antara mangkok-mangkok terisi masakan, sekali menggerakkan tangan, mangkok itu melayang di udara, berputaran dan hinggap di atas meja depan pemuda itu, sedikit pun tidak tumpah kuahnya!
Pemuda itu terbelalak kaget dan memandang Cui Im penuh pertanyaan, juga penuh keheranan. Cui Im tersenyum lalu berkata lirih,
"Silakan, Siangkong (Tuan Muda), masakan yang dihidangkan untukku terlalu banyak."
Wajah pemuda itu menjadi merah sekali, akan tetapi dia hanya mengangguk dan menjawab lirih,
"Terima kasih."
Kemudian mulai makan dengan lambat, tidak berani memandang ke kanan kiri karena dia merasa bahwa para tamu lainnya tentu melihat semua kejadian tadi sehingga dia menjadi malu sekali. Akan tetapi pemuda ini diam-diam merasa heran sekali mengapa tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, padahal apa yang dilakukan wanita itu adalah hal yang tentu akan menimbulkan keheranan banyak orang.
Melempar semangkok masakan seperti itu sungguh merupakan perbuatan aneh yang takkan dapat dilakukan oleh sembarangan orang! Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa wanita cantik itu adalah pengawal rahasia kaisar, dan tidak tahu bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencampuri urusan wanita itu, apa pun yang dilakukannya!
Cui Im sudah mengambil keputusan tetap di hatinya. Pemuda inilah pilihannya! Pemuda tampan yang merupakan pendatang baru, yang begitu sopan, begitu halus dan lemah lembut, yang masih begitu murni sehingga tidak mengacuhkan kecantikan dan sinar matanya yang penuh pancaran kasih. Apakah pemuda itu masih begitu bodoh? Usianya tidaklah muda lagi, akan tetapi agaknya dia masih jejaka dan besar kemungkinan belum pernah berdekatan dengan wanita.
Pikiran ini membuat Cui Im makin terangsang dan ia menelan ludah. Ia mengilar seperti seorang wanita mengandung melihat buah muda yang masam! Harus ia dapatkan pemuda itu, untuk menemaninya sepuasnya dan untuk memancing Keng Hong.
Setelah menghabiskan beberapa potong daging dan minum beberapa teguk arak, ia lalu bangkit berdiri dan keluar dari rumah makan itu diikuti para pelayan yang membungkuk-bungkuk penuh hormat. Cui Im meloncat ke atas punggung kuda. Setiap rumah makan atau kedai apa saja takkan ada yang berani menerima uang pembayaran Cui Im, apalagi memintanya!
Melihat betapa pelayan-pelayan begitu menghormat, bahkan melihat pula betapa gadis itu pergi saja tanpa membayar, pemuda itu menjadi makin heran. Dia tidak tertarik oleh kecantikan gadis itu, kecantikan yang dia tahu menyembunyikan sifat yang amat tidak menyenangkan, sungguhpun dia tidak tahu sifat apakah itu, hanya dia dapat menangkap sikap tercela dari sinar mata dan senyum memikat gadis itu.
Akan tetapi dia amat tertarik melihat betapa gadis itu amat dihormat, dan melihat kepandaian hebat gadis itu yang tadi melempar mangkok secara luar biasa. Karena tertarik, ketika dia selesai makan dan memanggil pelayan untuk membayar, sambil lalu dengan suara tak acuh dia bertanya,
"Lopek, tahukah Lopek (Paman) siapa nona yang duduk disitu tadi?"
Mendengar pertanyaan ini, pelayan itu memandang pemuda itu dengan mata lebar, meneliti pemuda itu dari kepala sampai ke kaki, kemudian menggeleng kepala!
"Ah, tentu Kongcu seorang pendatang dari jauh maka tidak mengenalnya. Dan sebetulnya Kongcu amatlah bahagia mendapatkan perhatiannya. Hemmm... sungguh aneh dunia ini... Yang mengharapkan tidak mendapat, yang sama sekali tidak sengaja malah menemukan! Dia itu adalah Bhe-siocia yang terkenal sebagai pengawal istana dan berjuluk Ang-kiam Bu-tek.."
Pelayan itu bergegas menerima pembayaran dan pergi, seolah-olah merasa ketakutan telah berani menyebut nama julukan itu. Karena bergegas pergi, pelayan itu tidak melihat wajah pemuda pelajar itu berubah mendengar nama julukan Ang-kiam Bu-tek.
Pemuda itu lalu mengambil buntalannya, memanggulnya dan dengan langkah tenang keluar dari restoran, tidak peduli betapa dia menjadi pusat perhatian para tamu lainnya yang merasa iri hati melihat sikap Cui Im tadi kepada pemuda itu dan juga merasa amat heran mengapa ada pemuda yang menerima keuntungan seperti itu sama sekali tidak mengacuhkannya!
Pemuda yang sedang melihat-lihat keramaian kota raja, tiba-tiba mendengar derap kaki kuda yang berhenti lari setelah tiba di belakangnya, kemudian terdengar suara halus merdu menegurnya,
"Siangkong, harap berhenti dulu...!"
Pemuda itu dapat menduga siapa yang menegurnya sungguhpun di dalam hati dia merasa terheran, maka ketika dia berhenti dan memutar tubuh, melihat Cui Im duduk dengan gaya indah menarik di atas kudanya yang besar, dia tidak menjadi kaget. Ia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan berkata,
"Ah, saya menghaturkan terima kasih atas keramahan Nona di restoran tadi. Tidak tahu apakah yang dapat saya lakukan untukmu maka Nona menghentikan saya?"
Kembali Cui Im kagum. Pemuda ini benar-benar amat halus dan sopan santun. Kesopanan yang menimbulkan keraguan di hatinya. Jangan-jangan pemuda ini jasmaninya selemah sikapnya yang halus. Akan tetapi ia mengusir keraguannya dan tersenyum manis sekali, kemudian dengan gerakan lemas, dengan gerak pinggang ramping yang lemah gemulai, ia turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda mendekati pemuda itu. Dengan kendali kuda di tangan ia membalas penghormatan pemuda itu, bersoja (mengangkat kedua tangan depan dada) dan berkata,
"Tidak perlu berterima kasih, Siangkong. Aku tertarik melihat engkau yang agaknya meerupakan seorang pendatang baru di kota raja, dan ingin sekali berkenalan. Kalau sudi Siangkong berkenalan dengan seorang bodoh seperti aku.." Cui Im menutupi mukanya untuk menyembunyikan senyum lebar, "aku bernama Bhe Cui Im..."
"Nona terlalu merendahkan diri. Kalau seorang seperti Nona menyebut diri bodoh, tentu saya merupakan seorang setolol-tololnya. Tentu saja saya merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat berkenalan dengan Nona. Nama saya Yap Cong San."
"Nama yang bagus, sesuai dengan orangnya.." kata Cui Im dan ia menahan ketawanya ketika melihat betapa wajah pemuda itu menjadi merah sampai ke leher! Untuk menolong Cong San dari rasa malu, Cui Im cepat berkata lagi, "Yap-siangkong datang ke kota raja tentu hendak mengikuti ujian bukan?"
"Hemmm....., ya, benar. Mengikuti ujian, akan tetapi saya adalah seorang yang amat bodoh..."
"Eh, Siangkong terlalu merendahkan diri. Siangkong tentulah seorang terpelajar, aku yakin benar akan hal ini.. eh, tidak enak bicara di tengah jalan begini. Di manakah Siangkong bermalam?"
"Saya baru saja datang, karena lapar terus makan di restoran tadi belum sempat mencari rumah penginapan."
"Ah, kalau begitu saya bisa menolong Siangkong.."
"Jangan merepotkan diri, Nona. Sesunguhnya saya... saya merasa amat malu menganggu Nona. Apalagi, Nona yang terhormat di kota raja ini, kalau dilihat orang bicara dengan seorang sastrawan miskin seperti saya…"
"Hemmm.... hendak kulihat siapa yang berani mencela aku..!"
Cui Im sengaja menengok sekelilingnya dan Cong San melihat dengan heran betapa semua orang yang tadinya memandang ke arah mereka, segera menundukkan muka dan melanjutkan perjalanan dengan secepatnya dan tergesa-gesa, seolah-olah dari pandang mata Cui Im memancar api panas yang membuat mereka tidak betah memandang lebih lama.
"Hemmm, Nona tentu seorang yang amat berkuasa di sini.”
"Benar, Yap-siangkong. Karena itu, marilah kau ikut denganku dan kucarikan tempat penginapan yang patut untukmu. Marilah!"
Pemuda ini kelihatan canggung dan malu, akan tetapi dia melangkah dan berjalan di samping nona itu yang bicara dengan senyum-senyum,
"Percayalah, Siangkong, saya tidak mempunyai niat buruk terhadap Siangkong, saya tahu bahwa Siangkong seorang yang pandai dan terpelajar. Sebagai seorang asing di sini, kasihan kalau Siangkong tidak mendapatkan tempat yang layak."
Cui Im membawa Cong San ke sebuah hotel terbesar di kota raja. Melihat pakaian para pelayan di situ dan melihat tempat penginapan yang besar, tamu-tamu yang berpakaian mewah, Cong San dapat menduga bahwa kalau dia muncul sendirian di situ agaknya dia akan dipandang rendah dan tentu biaya penginapan di situ amat mahal. Diam-diam ia menghitung bekalnya yang tidak banyak.
Akan tetapi karena dia datang bersama Cui Im, para pelayan sibuk menyambut mereka berdua, bahkan kuasa hotel itu sendiri menyambut sambil membongkok-bongkok sehingga pinggangnya hampir patah.
"Selamat datang, selamat datang, Lihiap (Pendekar Wanita)! Sungguh merupakan kehormatan besar mendapat kunjungan Lihiap. Apakah Lihiap hendak menggunakan kamar? Ataukah ada perintah lain yang harus kami lakukan?" kata kuasa hotel itu tersenyum-senyum dan juga tidak lupa menyoja dengan hormat kepada Cong San.
Cui Im tersenyum dan melirik ke arah Cong San seperti hendak membanggakan diri atas sikap kuasa hotel dan para pelayan itu.
"Tidak, bukan aku yang membutuhkan kamar, melainkan sahabat baikku, Yap-siangkong ini. Harap kau suka memberi kamar terbaik untuknya dan melayaninya dengan baik pula."
"Tentu... Tentu, Lihiap. Marilah, Yap-siangkong!" Kuasa hotel itu menjura kepada Cong San.
Pemuda ini cepat berkata kepada Cui Im,
"Banyak terima kasih, Nona."
"Ah, diantara sahabat mengapa banyak sungkan, Siangkong?" bantah Cui Im “mengharap Siangkong akan memenuhi undanganku untuk minum arak malam nanti."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar