*

*

Ads

FB

Kamis, 18 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 115

"Eh, engkau masih berpura-pura? Engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw (Harimau Tanduk Satu)! Mayatnya kau lempar ke dalam jurang!" Sambil berkata demikian wanita itu menggerakkan pedangnya menyerang.

"Srattttt... Sing-sing....!"

Cepat sekali gerakan pedangnya, sekaligus sudah membacok satu kali dan menusuk dua kali. Biauw Eng mengelak tiga kali lalu meloncat mundur, akan tetapi tiga belas orang wanita itu sudah menerjangnya dan menggunakan ginkangnya mengelak ke sana-sini sambil beerseru.

"Heeeeee! Nanti dulu, apakah kalian sudah gila semua? Yang kubunuh adalah seekor binatang! Seekor harimau karena dia telah membunuh sepasang kijang. Aku tidak membunuh seorang manusia, bagaimana kalian menuduhku membunuh tuan muda kalian?"

Tiba-tiba tiga belas wanita itu tertawa semua, tertawa dan dengan telunjuk kiri menuding ke arah hidung Biauw Eng, lalu tertawa lagi terpingkal-pingkal. Melihat ini, Biauw Eng makin terheran dan serem, bahkan otomatis dia meraba hidungnya sendiri. Mengapa hidungnya ditunjuk dan ditertawakan?

Hidungnya tidak apa-apa dan gerakannya itu agaknya memancing kegelian hati mereka karena meledaklah suara ketawa mereka makin keras, bahkan ada yang memegangi perut menahan ketawa.

"Hi-hi-hik, heh-heh, engkau sendiri gila mengatakan kami gila! Engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw dan masih menyangkal? Hayo lekas berlutut untuk kami belenggu dan kami bawa menghadap Thai-houw (Ratu)!" kata pemimpin pasukan itu dan kembali Biauw Eng terkejut.

Apakah di tempat seperti itu ada ratunya? Kalau harimau mereka sebut tuan muda, bagaimana macamnya ratu mereka? Tentu mereka ini sekawanan manusia jahat yang sengaja hendak mempermainkannya, dan membuat marah Biauw Eng. Ia tadi melihat gerakan mereka amat gesit dan lihai, maka ia lalu meloloskan sabuk suteranya dan berkata dengan suara nyaring,

"Kalian ini orang-orang gila jangan main-main dengan aku! Pergilah atau kalian akan mampus seperti harimau siluman itu!"

Tiga belas orang wanita itu tertawa cekikikan, akan tetapi di antara suara ketawa ini terdengar oleh Biauw Eng suara tangis, sehingga keadaan amat menyeramkan. Gadis ini menjadi serem karena baru saja ia mengeluh dan merasa menyesal bahwa dia telah membunuh harimau, merasa bahwa Keng Hong membuatnya menjadi gila. Kini, tiga belas orang wanita itu sikapnya begitu aneh dan ia menganggap mereka seperti gila. Benar gilakah mereka ini? Ataukah..., dia sendiri yang sebetulnya gila sehingga hal yang wajar tampak olehnya sebagai tidak wajar?

Ia mengkirik dan kemarahan memenuhi hatinya. Ia merasa ditertawakan dan dihina, maka sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring ia lalu menerjang maju, menggerakkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung.






Tiga belas orang wanita baju kuning itu berteriak-teriak dan mengeroyoknya. Biarpun mereka cekikikan seperti orang gila, namun ternyata gerakan mereka selain ringan cepat dan kuat, juga teratur baik sekali sebagai pasukan yang terlatih.

Gulungan sinar putih sabuk sutera Biauw Eng selalu bertemu dengan sambaran-sambaran pedang yang datang bagaikan hujan. Terpaksa Biauw Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena ternyata olehnya bahwa tiga belas orang itu benar-benat amat lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Gerakan pedang mereka aneh, kadang-kadang membacok atau menusuk secara kasar seperti gerakan tukang menebang pohon saja, akan tetapi kadang-kadang gerakan mereka melingkar-lingkar dan sukar sekali diduga kemana hendak menyerang. Namun Biauw Eng adalah seorang wanita yang sejak kecil telah dilatih dengan ilmu silat tinggi maka dengan tenang ia dapat menangkis semua serangan dengan membuat benteng dari sinar putih yang mengelilingi tubuhnya secara rapat sekali.

Yang membingungkan adalah gerakan tubuh dan kaki para pengeroyoknya. Mereka itu bergerak-gerak aneh, kadang-kadang seperti monyet menggoda, dan kadang-kadang seperti tarian manusia-manusia yang liar. Meloncat-loncat, berjongkok, bahkan ada yang bergulingan di atas tanah menyerang dengan pedang membabat ke arah kaki. Ada pula yang meloncat tinggi dan seperti burung mematuk, pedangnya menusuk-nusuk ke arah kepala Biauw Eng!

Biauw Eng terheran-heran. Ilmu silat apakah yang mereka mainkan itu? Dalam hal ginkang dan tenaga sinkang, ia masih dapat mengatasi mereka, akan tetapi menghadapi ilmu silat edan-edanan yang selama hidupnya belum pernah ia saksikan itu, ia benar-benar tidak berani bersikap sembrono dan melawan dengan hati-hati sekali.

Setelah ia melawan dengan pertahanan ketat sampai lima puluh jurus sambil memperhatikan gerakan mereka, Biauw Eng mendapat kenyataan bahwa di balik semua gerakan anak-anak dan edan-edanan itu sebetulnya bersembunyi ilmu silat yang dasarnya tinggi dan indah sekali. Gerakan aneh-aneh itu hanya terbawa oleh sifat mereka dan juga dipergunakan untuk mengacau lawan!

Sebagai seorang ahli silat tinggi, begitu mengenal dasar mereka, Biauw Eng dapat melihat gerakan-gerakan yang mengandung kelemahan dari mereka yang lebih rendah, maka sekali ia berseru keras secara tiba-tiba ia merebahkan tubuh terlentang akan tetapi berbarengan sabuk suteranya menyambar dengan lingkaran lebar ke arah kaki tiga belas orang yang mengurungnya!

Terdengar jerit-jerit dan tertawa-tawa dan dua orang yang terjungkal roboh karena terlibat sabuk sutera kakinya. Akan tetapi Biauw Eng cepat menarik kembali sabuknya dan menggunakan kedua tangan menekan tanah sehingga tubuhnya sudah mencelat berdiri di atas tanah. Tepat seperti dugaannya, sebelas orang yang berhasil mengelak dari serampangan sabuknya kini menusuk atau membacok pinggangnya.

Ia berseru keras, tubuhnya meloncat tinggi. Ia maklum bahwa pedang-pedang itu akan mengejarnya, maka cepat ia menggunakan kedua kakinya membarengi saat semua pedang menyambar, menginjak pedang-pedang itu, meminjam tenaga mereka mengenjot tubuhnya ke atas. Sebelas batang pedang yang kena dienjot itu tertekan ke bawah sehingga memperlambat gerakan mereka, dan pada saat itu, tubuh Biauw Eng yang sudah melayang ke atas cepat membuat gerakan membalik, kepalanya menukik ke bawah dan sinar putih sabuk suteranya menyambar dari atas ke arah kepala orang-orang itu.

"Wuuuttt... Trang-trang-cringggg...!"

Beberapa batang pedang yang menangkisnya terlempar, beberapa orang lagi meloncat jauh menghindar, akan tetapi ada tiga orang yang kurang cepat mengelak sehingga pundak mereka terkena totokan ujung sabuk. Mereka terguling roboh dan.... tertawa cekikikan, padahal yang kena ditotok ujung sabuk adalah jalan darah kin-ceng-hiat-to dan tiong-ca-hiat-to. Mestinya mereka yang tertotok ini mengalami penderitaan karena nyeri, akan tetapi mereka tidak mengeluh tidak menangis malah tertawa sambil meraba-raba pundak!

Dua orang sudah roboh karena kaki mereka terkilir uratnya, tak dapat bangun, tiga orang lagi tertotok roboh, tinggal delapan orang yang kini mulai mengurung lagi. Mata mereka makin liar berputaran, mulut menyeringai, ada yang menjilat-jilat bibir basah dengan ujung lidah merah kecil meruncing, sikap mereka amat menyeramkan.

Akan tetapi ada perasaan kasihan timbul di hati Biauw Eng. Dara ini sekarang merasa yakin bahwa yang mengeroyoknya adalah pasukan wanita yang miring otaknya alias gila! Ia pikir lebih baik melarikan diri dari situ meninggalkan orang-orang gila yang sebetulnya tidak berdosa ini. Akan tetapi selagi ia berpikir hendak pergi meninggalkan mereka, tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring melengking, ketawa merdu sekali, akan tetapi ternyata mengandung wibawa hebat bagi delapan wanita ini serta merta mereka itu menjatuhkan diri berlutut sambil berseru,

"Sian-li datang....!"

Biauw Eng cepat menoleh ke arah wanita-wanita itu menghadap terkejut mendengar mereka menyebut sian-li (dewi) kepada wanita yang tertawa merdu tadi. Ia makin terheran dan terkejut ketika melihat seorang wanita muda berpakaian serba merah. Wanita itu masih muda, hanya dua tiga tahun lebih tua dari padanya, berwajah cantik manis dan bersikap gagah, matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang pagi, akan tetapi di balik kemanisan wajahnya ini terbayang kebengisan dan kekerasan hati. Pakaian yang berwarna merah dan dipinggangnya juga tergantung sebatang pedang yang sarungnya terukir kembang-kembang merah pula.

Dua orang gadis jelita itu berdiri berhadapan dan saling pandang. Diam-diam Biauw Eng bergidik. Kalau para pelayannya yang tiga belas orang itu gila, apakah majikannya tidak lebih gila? Akan tetapi, pelayan-pelayannya sudah begitu lihai, tentu majikannya lebih lihai! Maka ia bersikap waspada, menggulung sabuk sutera dan bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

"Apa yang terjadi di sini?"

Suara wanita baju merah itu halus dan merdu, sikapnya tenang sekali sehingga Biauw Eng menjadi kagum dan lebih hati-hati lagi. Sikap ini saja sudah menimbulkan dugaan bahwa wanita ini tentu amat lihai.

"Tanpa sebab aku dikeroyok oleh pasukan ini, terpaksa aku membela diri," kata Biauw Eng mendahului orang-orang gila itu.

"Hi-hi-hik, orang gila ini bicaranya tidak karuan, Sianli. Dia melakukan tiga macam kesalahan besar. Pertama, dia membikin marah Thai-houw, ke dua, dia membikin sakit hati Sianli, dan ke tiga, dia menyerang kami!" kata wanita gila berambut riap-riapan.

"Bohong!" Biauw Eng berteriak marah dan penasaran."Mereka itulah yang gila dan miring otaknya!"

"Kau yang gila!" Teriak tiga belas orang itu berbarengan.

"Kalian yang gila!" Biauw Eng balas berteriak, tak kalah nyaring.

"Kau......!" Tiga belas orang itu membalas.

"Kalian!"

Biauw Eng berseru pula. Beberapa kali tiga belas orang itu dan Biauw Eng saling mengatakan gila.

Dara baju merah mengangkat tangan dan tiga belas orang wanita itu diam, terpaksa Biauw Eng juga diam.

"Hemmm, ternyata kalian semua ini gila. Eh, orang berbaju putih dekil kotor. Benarkah engkau telah melakukan tiga dosa besar itu?"

"Tidak! Bohong semua. Coba buktikan, orang-orang gila. Tiga dosa apakah yang kulakukan? Mengapa aku membikin marah Thai-houw kalian sedangkan bertemu pun belum?"

Wanita berurai rambut bangkit berdiri dan menuding ke arah hidung Biauw Eng.
"Tentu saja engkau membikin marah Thai-houw. Engkau memasuki wilayah kekuasaan Thai-houw tanpa ijin, bukankah hal itu berarti engkau membikin marah Thai-houw?"

Biauw Eng meraba-raba dagunya. Biarpun alasan yang dikemukakan alasan gila, namun tak dapat disangkal, memang akibatnya akan memarahkan orang yang berkuasa di situ, biarpun ia tidak sengaja melanggar wilayah orang. Ia masih penasaran dan bertanya,

"Kenapa kalian katakan aku menyakitkan hati Sianli dan menyerang kalian?"

"Dosamu ke dua, engkau telah membunuh tuan muda Tok-kak-houw yang menjadi kesayangan Sianli, bukankah berarti engkau menyakitkan hati Sianli? Dan engkau menyerang kami, kalau tidak menyerang, bagaimana lima orang teman kami bisa roboh? Hayo sangkal kalau bisa, orang gila!"

Biauw Eng mengerutkan alis. Mereka itu gila, akan tetapi agaknya memiliki kepandaian berdebat melebihi pokrol bambu! Percuma saja berdebat dengan orang gila, pikirnya. Maka ia lalu menghadapi gadis baju merah yang agaknya tidak gila itu lalu berkata,

"Aku kebetulan lewat di tempat ini, tidak tahu bahwa aku melanggar wilayah orang. Kemudian aku melihat seekor harimau membunuh dua ekor kijang, maka aku lalu membunuh binatang ganas itu. Tiba-tiba mereka ini muncul dan mengeroyokku, terpaksa aku membela diri dan kalau di antara mereka ada yang roboh, hal itu sudah wajar dalam pertandingan."

"Siapa namamu?" Tiba-tiba gadis berpakaian merah itu bertanya.

"Namaku Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng,"

Biauw Eng memperkenalkan nama julukannya karena bermaksud agar wanita itu tidak akan memandang rendah kapadanya. Akan tetapi ia kecelik, karena wanita itu seolah-olah tidak kaget mendengar nama julukan yang amat terkenal di dunia kang-ouw itu, bahkan bertanya,

"Julukanmu Gadis Berkabung? Untuk kematian siapa engkau berkabung?"

Pertanyaan ini membuat Biauw Eng tertegun sejenak. Semenjak kecil ia suka berpakaian putih, bukan untuk berkabung dan dia mendapat julukan "Berkabung" karena pakaiannya yang selalu putih itu. Kini pertanyaan itu membuatnya berpikir dan tanpa ragu-ragu ia menjawab,

"Aku berkabung untuk ayah bundaku yang sudah tiada."

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: