*

*

Ads

FB

Rabu, 29 Juni 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 020

"Ayaaaa.....!"

Cui Im terkejut sekali karena begitu pedangnya bertemu dengan ujung ranting yang menggetar, pedangnya ikut tergetar dan getaran itu terus menjalar ke tangan dan lengannya, membuat lengannya kesemutan dan hampir saja ia melepaskan pedangnya kalau tidak cepat-cepat ia memutar pergelangan tangannya dan melangkah mundur.

Keng Hong tidak mengejar atau mendesak lawannya, hanya berdiri siap menghadapi serangan gadis itu. Sikapnya tenang dan timbul kepercayaan pada diri sendiri. Mungkin dalam hal ilmu silat dia kalah pandai, akan tetapi ilmu pedangnya Siang-bhok-kiam adalah ciptaan gurunya, dan dalam kekuatan sinkang dia menang jauh. Asal dia dapat menjaga diri jangan sampai termakan pedang, dia tidak akan kalah.

"Kau.... kau laki-laki keji!"

Cui Im berteriak gemas lalu tubuhnya menerjang maju lagi mengirim tusukan dan bacokan bertubi-tubi. Hebat sekali gerakan pedang gadis ini, amat sukar diduga perubahannya sehingga pandang mata Keng Hong berkunang-kunang dan silau dibuatnya.

Sinar pedang merah itu bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran panjang dan luas seperti seekor naga hendak membelit tubuhnya. Terpaksa Keng Hong menyalurkan sinkang pada rantingnya dan memutar ranting itu melindungi tubuhnya. Hawa sinkang yang disalurkan itu hebat sekali sehingga pedang yang ujungnya berubah menjadi puluhan banyak saking cepat dan tak terduga gerakannya itu selalu tertumbuk dan mental kembali, kalau tidak tertangkis ranting tentu membalik oleh hawa pukulan yang amat dahsyat.

Namun, biarpun serangan Cui Im gagal semua, Keng Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk membalasnya. Hal ini adalah karena latihannya belum sempurna sama sekali, gerakannya masih kaku dan pedang Siang-bhok Kiam tidak berada ditangannya. Kalau ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut sudah dilatih baik dan pada saat itu dia memegang pedang pusaka itu, kirannya dalam beberapa jurus saja Cui Im yang lihai itu tentu tidak mampu bertahan terhadapnya!

Cui Im makin lama makin marah. Dari mulut gadis ini keluar lengking panjang yang amat nyaring dan dengan nekat ia memutar pedang lebih cepat lagi. Namun, makin cepat ia menggerakan pedang, makin banyak ia menambah tenaga, makin lelah dia dan pedangnya juga setiap kali terbentur ranting membalik dan seperti akan menyerang tubuhnya sendiri. Hal ini membuat Cui Im penasaran dan gemas sekali. Dia memekik keras, mencabut keluar sehelai saputangan merah dan menggunakan saputangan itu menyeling serangan pedangnya, mengebutkannya ke arah Keng Hong.





Keng Hong maklum akan bahayanya saputangan merah yang berbau harum ini. Teringat ia akan hawa racun yang tercampur pada arak. Menghadapi minuman, dia masih dapat bertahan karena lima tahun dia setiap hari diberi minuman racun. Akan tetapi terhadap racun yang berupa asap atau uap benar-benar amat berbahaya.

Melihat berkelebatnya saputangan merah yang wangi. Keng Hong cepat menghindarkan diri dengan menggeser kaki ke kiri dan memukulkan rantingnya pada saputangan itu. Ia berhasil merobek saputangan dengan ujung rantingnya, akan tetapi dia tidak tahu bahwa serangan saputangan itu hanya pancingan belaka karena pada detik berikutnya, Cui Im sudah membanting sebuah benda seperti bola yang tadi disembunyikan dibalik saputangan.

Bola itu mengeluarkan suara ledakan dan asap hitam mengelilingi Keng Hong. Pemuda itu terkejut sekali dan melompat, namun terlambat. Ia telah menghisap asap hitam yang berbau hamis, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Ia terhuyung-huyung dan di dalam kegelapan asap itu pedang Cui Im menyambar, menusuk lambungnya. Keng Hong masih sempat menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Tranggg.....!"

Pedang merah terlepas dari tangan Cui Im, akan tetapi pada saat itu Keng Hong terguling karena sebuah tendangan gadis itu tepat mengenai lutut kananya. Keng Hong terguling roboh, pandang matanya gelap, napasnya terengah-engah sehingga makin banyak asap hitam tersedot olehnya!

Cui Im menjadi girang sekali dan ia sudah menubruk ke depan setelah menyambar pedang merahnya, disabetkan ke arah leher pemuda yang sudah tak berdaya lagi itu.

"Singgggg..... tranggg....!"

Cui Im menahan jeritnya ketika pedangnya yang sudah meluncur itu tiba-tiba tertahan di tengah udara, hanya beberapa senti meter lagi dari leher Keng Hong, dan terlepas dari tangannya kemudian terbang ke atas, terampas oleh segulung sinar putih yang datang menyambar secepat kilat.

"Suci (kakak perempuan seperguruan) apa yang hendak kau lakukan itu?"

Terdengar teguran halus dan ternyata di situ telah berdiri seorang gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, berpakaian sutra putih dengan garis-garis pinggir biru, memegang sehelai sabuk sutra putih panjang yang tadi dipergunakan secara luar biasa untuk merampas pedang di tangan Cui Im.

"Sumoi (adik perempuan seperguruan).....! Engkau.....??" teriak Cui Im dengan suara kaget dan jerih.

Memang aneh kelihatanya. Mengapa Cui Im seorang kakak seperguruan takut terhadap adik seperguruannya? Namun kenyataannya begitulah.

"Nih, kukembalikan pedangmu, Suci!"

Kata pula gadis baju putih itu dan sekali menggerakan pergelangan tangan yang memegang sabuk sutera putih, pedang merah itu meluncur ke arah Cui Im yang cepat menyambutnya dan menyimpannya. Gadis baju putih itu lalu menggerakan sabuknya yang menyambar ke arah Keng Hong bagaikan seekor ular hidup, melibat-libat tubuh pemuda yang masih pening dan mabuk itu dan sekali betot, tubuh Keng Hong melayang ke dekat gadis itu!

Cui Im memandang dengan muka berubah merah penasaran ketika sumoinya mengeluarkan segulung sutera hitam dan mengikat kedua pergelangan tangan Keng Hong yang masih rebah terlentang kebingungan. Setelah mengikat kedua tangan pemuda itu secara hati-hati, gadis baju putih ini lalu memakai kembali sabuknya, dilibat-libatkan di pinggangnya yang ramping.

"Sumoi kenapa kautawan dia? Dia itu....., punyaku! Aku yang menangkap dia, dan aku yang berhak atas dirinya. Dia itu kekasihku!" teriak Cui Im dengan nada penasaran dan marah, namun ia tetap tidak berani mengeluarkan ucapan kasar terhadap sumoinya ini.

"Hemmm, kulihat kau tadi hendak membunuhnya," kata si gadis baju putih dengan suara halus dan tenang.

"Karena dia punyaku, aku berhak melakukan apa saja terhadapnya. Aku hendak membunuhnya karena dia tidak memenuhi permintaanku untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."

"Aku tahu semua itu, Suci. Hanya aku tak senang melihat engkau hendak membunuhnya. Ibu sendiri yang menyuruh aku menyusulmu dan mengawasi gerak-gerikmu. Dan harus kukatakan bahwa apa yang kulihat semalam tadi dan sekarang ini, sungguh mengecewakan. Kau terlalu menurutkan nafsu, nafsu berahi dan nafsu kemarahanmu. Yang dicari belum didapat mengapa hendak membunuh dia? Ibu yang menyuruh aku menangkapnya dan membawanya kepada ibu."

"Aaahhhh....!" Cui Im mengeluh dengan nada kecewa sekali. "Dahulu subo tidak tertarik akan peninggalan Sin-jiu Kiam-ong.... dan membiarkan aku pergi untuk merampasnya, untukku sendiri....."

"Sudahlah, Suci. Mari kita pergi menghadap ibu dan kau boleh bicara sendiri kepada ibu."

"Tapi subo (ibu guru)....."

"Sudahlah!"

Gadis baju putih itu membentak dan sucinya terdiam. Kemudian gadis baju putih itu menggerakan bibir diruncingkan dan terdengarlah suara suitan melengking yang amat nyaring. Tak lama kemudian terdengar suara roda gerobak yang dilarikan kuda cepat sekali menuju ke tempat itu.

Ternyata kemudian bahwa gerobak itu ditarik oleh empat ekor kuda besar, dikusiri seorang wanita muda yang cantik dan di belakang gerobak itu masih ada tiga orang wanita setengah tua yang cantik-cantik dan bersikap garang. Keempat wanita yang datang ini kesemuanya memakai pakaian kuning dan di punggung mereka tampak gagang pedang.

"Masukkan dia ke dalam kereta, aku sendiri yang akan menjaganya bersama suci," kata gadis itu memberi perintahnya kepada tiga orang wanita setengah tua yang sudah melompat turun dari kuda.

Tanpa bicara sesuatu, mereka lalu mengangkat tubuh Keng Hong dan memasukannya ke dalam kereta, didudukan di atas bangku menghadap ke belakang. Keng Hong masih pening kepalanya, menyadarkan diri dan meramkan mata, mulai mengumpulkan hawa sakti untuk mengusir hawa beracun yang mengotorkan dada dan kepalanya.

"Kalian berempat berangkatlah lebih dulu memberi laporan kepada ibu bahwa orang yang dikehendaki sudah tertawan. Biar suci yang menggantikan menjadi kusir dan aku yang mengawal orang ini. Berangkatlah!"

Empat orang itu mengangguk, wanita muda yang tadi menjadi kusir diboncengkan oleh seorang di antara mereka dan tiga ekor kuda itu lalu membalap ke sebelah depan. Cui Im menghela napas panjang penuh kekecewaan, akan tetapi ia tidak banyak membantah lalu pindah duduk di depan, menjadi kusir. Adapun gadis baju putih itu kini duduk berhadapa dengan Keng Hong.

Dengan gemas Cui Im mencambuk empat ekor kuda itu yang membedal sambil mengeluarkan suara meringkik keras. Roda-roda kereta menderu di atas jalan yang berbatu, dan guncanga-guncanga ini membuat Keng Hong cepat sadar kembali.

Keng Hong semenjak tadi tidaklah pingsan, hanya pening dan pandangan matanya berkunang. Namun dia masih dapat mengikuti dengan jelas apa yang telah terjadi, dapat mengerti bahwa nyawanya tertolong oleh gadis baju putih yang membelenggunya dan kini duduk di depannya.

Kalau tidak ada gadis ini, tentu lehernya telah putus dan nyawanya melayang oleh pedang merah Cui Im. Ia merasa heran sekali mengapa sumoi dari Cui Im ini kelihatannya jauh lebih lihai daripada Cui Im sendiri dan amat ditaati sucinya. Akan tetapi dia mengetahui semua itu sebagian besar hanya dari ketajaman pendengarannya saja karena tadi matanya berkunang dan kabur pandangannya.

Sekarang, setelah dia mengusir sisa hawa beracun, dibantu guncangan kereta itu membuat pandangan matanya terang kembali, dia membuka mata memandang nona yang duduk anteng di depannya. Mula-mula yang mempesona Keng Hong adalah sepasang mata itu. Sepasang mata yang amat luar biasa indahnya, mengingatkan Keng Hong akan bintang-bintang di langit, dengan cahaya hangat lembut seperti sinar matahari pagi, bening seperti air telaga, tajam melebihi pedang pusaka, akan tetapi di balik semua keindahan itu bersembunyilah sifat dingin yang menyeramkan!

Mata itu agaknya dapat menangkap kesadaranya, akan tetapi hanya sekilas saja menyapu wajahnya, kemudian mata itu memandang lagi ke depan, seolah-olah dapat menembus segala yang berada di depannya.

Kemudian pandang mata Keng Hong merayapi wajah itu dan dia makin terpesona. Gadis yang jauh lebih muda dari Cui Im ini, yang usianya ditaksir tidak akan lebih tua dari dirinya sendiri, memiliki wajah yang amat cantik jelita. Bentuk wajahnya bulat telur, dengan kulit muka yang halus putih kemerahan tanpa bedak dan gincu, rambutnya hitam sekali dan amat halus seperti benang sutera, gemuk subur menghias dahi dan kedua pipi, menyembulkan dua buah telinga yang hanya tampak sedikit dan terhias dua buah anting-anting bermata merah.

Alis itu amat hitam dan kecil memanjang seperti dilukis saja padahal tidak ada bekas-bekas goresan pensil dan agaknya alis ini dan bulu mata yang panjang melengkung itulah yang menambah keindahan matanya. Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menantang ke atas, diapit sepasang pipi yang kemerahan dan halus seperti buah tomat meranum.

Ketika pandang mata Keng Hong menurun lagi, pandang matanya seolah-olah menempel dan melekat pada sepasang bibir itu. Sukar dikatakan mana yang lebih indah antara mata dan bibir itu. Bentuknya seperti gendewa dipentang, dan warnanya merah membasah, segar dan membuat Keng Hong tanpa disadarinya sendiri menelan ludah seperti seorang kehausan melihat buah yang segar.

Kemudian sinar mata Keng Hong makin liar memandang ke bawah dan apa yang dilihatnya benar-benar membuat dia terpesona. Gadis ini amat cantik jelita, sikapnya agung dan pendiam, dan bentuk tubuhnya.... sukar dilukiskan dengan kata-kata sungguhpun pakaian sutera putih itu membungkusnya.

Pendeknya, kalau Cui Im merupakan gadis yang luar biasa cantiknya dan yang tidak pernah sebelumnya dia temukan atau impikan, kini gadis baju putih ini merupakan seorang gadis yang tak pernah dia sangka terdapat di dalam dunia!

"Hidung belang, sudah puaskah engkau meneliti dan menaksir diriku?"

Pertanyaan ini halus dan merdu terdengar oleh telinga, namun bagaikan pisau berkarat menggores jantung! Keng Hong belum tentu akan menjadi semerah itu kedua pipinya kalau dia menerima tamparan keras.

**** 011 ****





Tidak ada komentar: