*

*

Ads

FB

Minggu, 27 November 2016

Petualang Asmara Jilid 184

Terutama sekali Marcus merasa penasaran dan diam-diam dia marah sekali. Jelas baginya bahwa Yap Kun Liong adalah seorang yang berbahaya, seorang musuh, entah musuh yang berpihak mana saja, akan tetapi yang jelas, bukanlah seorang yang boleh dianggap sebagai seorang sahabat. Bagi dia, Kun Liong harus dibunuh dan sama sekali tidak boleh diberi ampun. Akan tetapi, melihat betapa Ouwyang Bouw, tokoh pertama dan utama dalam gerombolan mereka itu tidak berani membantah kehendak Lauw Kim In, dia pun tidak berani berkutik dan hanya duduk kembali sambil memandang tajam penuh perhatian.

“Yap Kun Liong, duduklah!” kata Kim In setelah melihat bahwa semua orang mentaati permintaannya.

“Terima kasih, engkau baik sekali Nona... eh, Nyonya,” katanya sambil melirik ke arah Ouwyang Bouw yang makin cemberut.

Suasana di ruangan itu menjadi hening sejenak. Kun Liong menujukan pandang matanya ke sekeliling. Tampak olehnya betapa tempat itu, biarpun dalam jarak agak jauh, telah dijaga ketat oleh banyak sekali anggauta pasukan yang memegang tombak. Penjagaan yang amat rapi dan ketat, seperti dalam benteng tentara saja.

“Yap Kun Liong, engkau melihat sendiri betapa engkau telah dikurung dengan rapat di tempat ini. Betapapun lihaimu, engkau takkan mungkin dapat keluar dengan selamat apabila kami menghendaki. Karena itu, kau ceritakanlah dengan sejujurnya dan sebenamya, apa yang kau lakukan di tempat ini dan mengapa pula engkau mengenakan pakaian seorang anak buah sahabat kulit putih.”

Kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim In itu agaknya ditujukan untuk mendinginkan hati mereka yang panas dan marah kepada Kun Liong. Kun Liong mengerti bahwa sesungguhnya Kim In ingin bicara hal lain dengan dia, akan tetapi sebelumnya minta agar dia suka menceritakan keadaannya itu agar menghilangkan kecurigaan para pimpinan pasukan, terutama sekali Marcus dan Ouwyang Bouw.

“Aku tidak sengaja memasuki daerah ini, karena aku sedang melakukan perjalanan menuju ke barat dan melalui tempat ini. Aku hampir mati di padang pasir yang tidak kukenal dan kebetulan di dalam perjalanan aku melihat seorang laki-laki berkulit putih sedang dikereyok oleh tiga belas orang Mongol yang dipimpin oleh seorang raksasa Mongol bermata sipit ahli gulat...”

“Hemm, tentu Si Tula yang memberontak!” Tiba-tiba seorang di antara pemimpin Mongol berseru.

“Laki-laki kulit putih itu luka-luka parah. Aku menolongnya dan berhasil menghalau para pengeroyoknya. Akan tetapi dia tidak tertolong lagi. Aku lalu mengubur jenazahnya, akan tetapi karena pakaianku sudah robek-robek dan aku hampir telanjang, aku amat membutuhkan pakaian, maka aku mengambil pakaiannya sebelum kukuburkan jenazah itu.”

“Laki-laki kulit putih? Tahukah engkau siapa dia?” Kim In bertanya.

“Tidak, dia tidak sempat menyebutkan namanya, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, kumisnya panjang melintang dan berwarna kemerahan...”

“Alberto...!”

Tiba-tiba Marcus berkata dan semua orang saling pandang dengan alis berkerut. Alberto adalah utusan mereka, orang yang penting untuk menghubungi Pek-lian-kauw. Akan tetapi Kun Liong tidak mau bicara tentang pesan orang yang hampir mati itu ketika menyebut-nyebut nama Pek-lian-kauw. Dia, tidak mau mencampuri urusan orang lain.






“Aku tidak tahu siapa dia. Aku memang mengambil pakaiannya, akan tetapi hat itu kulakukan karena terpaksa, karena aku harus melindungi tubuhku dari serangan panas, dan kuanggap sebagai pembalasan perbuatanku yang mengurus dan mengubur jenazahnya.”

“Si Keparat Tula! Dia harus kita hajar!” Marcus berkata dan lima orang Mongol itu mengangguk-angguk.

“Yap Kun Liong, sekarang ceritakanlah, kemana engkau hendak pergi dan mengapa melalui tempat asing di luar Tembok Besar ini?”

Kun Liong terkejut dan memandang wajah Kim In dengan mata terbelalak.
“Di luar Tembok Besar? Wah, pantas adanya hanya padang pasir melulu dan gunung-gunung liar! Aku tidak tahu, tidak mengenal jalan. Aku hanya tahu bahwa aku harus ke barat, karena aku hendak pergi ke Tibet.”

Semua orang terkejut dan pandang mata Marcus tajam menyelidik, agaknya dia mulai curiga lagi.

“Ke Tibet?” Lauw Kim In bertanya.

Kun Liong dapat menduga bahwa sebetulnya wanita itu ingin mendengar tentang sumoinya, maka dia lalu berkata terus terang,

“Benar, ke Tibet untuk mencari Pek Hong Ing.”

Tepat dugaan Kun Liong, karena begitu mendengar nama sumoinya, wajah Kim In berubah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya.

“Apa yang terjadi dengan Sumoi?” tanyanya tidak sabar.

“Tiga orang pendeta Lama yang amat lihai telah membawanya pergi dan aku tidak berdaya mencegahnya, bahkan aku hampir mati oleh mereka yang amat lihai. Setelah aku sembuh, aku sekarang pergi menyusul dan hendak mencarinya. Karena mereka itu adalah pendeta-pendeta Lama, maka aku hendak mencari mereka ke Tibet.”

“Ahhhh...!”

Wajah yang cantik itu menjadi pucat, agaknya dia merasa cemas sekali akan nasib sumoinya.

Melihat ini, Kun Liong merasa kasihan dan juga senang bahwa wanita ini masih mencinta sumoinya. Maka berkatalah dia dengan suara menghibur,

“Harap jangan khawatir. Aku akan mencarinya sampai dapat, dan aku merasa pasti bahwa aku akan dapat menyelamatkannya dari ancaman siapapun juga!”

Kim In menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu, lalu menunduk. Kemudian terdengar dia menghela napas dan berkata,

“Kalau begitu, engkau tidak melakukan suatu kesalahan terhadap kami. Kau boleh pergi sekarang juga.”

Kun Liong bangkit berdiri memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa sinar mata Marcus melahapnya seperti hendak membunuhnya dengan sinar mata akan tetapi orang kulit putih itu tidak berani bergerak. Melihat keraguan Kun Liong, Kim In berkata kepada lima orang pemimpin Mongol,

“Biarkan dia pergi. Dia hendak mencari sumoiku.”

Lima orang Mongol itu lalu mengeluarkan teriakan sebagai aba-aba dan di luar ruangan terdengar teriakan-teriakan menyambut dalam bahasa Mongol. Dua orang perajurit masuk lalu mengawal Kun Liong keluar dari situ. Kun Liong hanya tersenyum dan tidak berkata apa-apa mengikuti dua orang perajurit itu keluar dari benteng ini.

Tak lama kemudian setelah Kun Liong pergi, Kim In berkata kepada suaminya,
“Aku lupa untuk berpesan sesuatu kepadanya untuk disampaikan kepada Sumoi! Kalian tunggu sebentar, aku hendak menyusulnya!”

Tanpa memberi kesempatan orang lain untuk menjawab, tubuh Kim In sudah mencelat dan seperti terbang cepatnya dia sudah berlari keluar mengejar.

Kun Liong sudah keluar dari pintu gerbang dan selagi dia berjalan dengan hati ringan karena tak disangkanya bahwa urusan dengan orang macam Ouwyang Bouw dan Marcus dapat diselesaikan sedemikian mudahnya berkat Lauw Kim In, tiba-tiba terdengar suara wanita itu dari belakang,

“Kun Liong, tunggu dulu!”

Kun Liong membalikkan tubuhnya, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum sungguhpun hatinya berdebar tegang karena dia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya. Tanpa mengeluarkan kata dia memandang wanita itu dengan mata penuh pertanyaan.

“Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu,” kata Lauw Kim In setelah dia berdiri di depan pemuda itu. “Mengapa engkau pergi bersusah payah mencari Sumoi?”

Kun Liong tersenyum. Kiranya hanya itu yang membuat wanita ini berlari-lari menyusulnya.

“Tentu saja aku mencarinya karena dia terancam bahaya, biarpun para pendeta Lama itu tidak menyatakan demikian. Bahkan... bahkan... ada hal yang amat luar biasa yang membuka rahasia Hong Ing... tentang ayahnya...”

Kun Liong masih ragu-ragu apakah dia akan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di pulau kosong itu.

“Hemm, tentang ayahnya? Seorang pendeta Lama? Aku sudah tahu sedikit-sedikit tentang riwayatnya, Kun Liong. Ingat, aku bersama dengan Subo ketika kami menemukan ibunya dan dia.”

Kun Liong kini tidak ragu-ragu lagi dan diceritakanlah semua peristiwa yang terjadi di pulau itu, tentang pertemuan mereka dengan pendeta Lama sakti yang ternyata adalah ayah Pek Hong Ing, yaitu pendeta yang ternyata bernama Kok Beng Lama, tentang tiga orang pendeta Lama lain yang membawa pergi Hong Ing.

“Demikianlah, biarpun mereka itu mengaku supek dan susiok Hong Ing, aku masih curiga dan aku harus mencari Hong Ing sampai ketemu.” Kun Liong mengakhiri penuturannya.

Lauw Kim In kagum dan terheran-heran, lalu menghela napas dan bertanya,
“Yap Kun Liong, katakanlah. Apakah engkau mencinta sumoi?”

Kun Liong mengangguk, menjawab dengan sepenuh hatinya,
“Aku cinta padanya, dan aku bersiap mengorbankan nyawa demi untuk keselamatannya. Aku cinta kepada Pek Hong Ing, mencintanya dengan seluruh jiwa dan ragaku!”

Terdengar isak atau sedu sedan naik dari dada Lauw Kim In.
“Sukurlah...” dia berbisik, “Semoga dia berbahagia...” dan tiba-tiba sekali, tanpa tersangka-sangka, tangan kanannya bergerak dan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Kun Liong!

Namun Kun Liong tidak mengelak dan kelihatan tenang-tenang saja seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.

“Hemmm... kalau aku menghendaki, bukanlah nyawamu telah melayang, Kun Liong?” katanya sambil memperlihatkan segumpal rambut di dalam cengkeram tangannya.

Memang hebat sekali ilmu kepandaian Lauw Kim In. Tangannya dapat memutuskan segumpal rambut tanpa terasa sedikit pun oleh Kun Liong.

Akan tetapi pemuda itu tersenyum.
“Kalau aku menghendaki, engkaulah yang akan roboh dulu, akan tetapi aku tahu bahwa engkau hanya ingin mengujiku, dan melihat apakah aku cukup dapat diandalkan untuk menolong Sumoimu. Bukankah begitu?”

Lauw Kim In terkejut.
“Apa... apa maksudmu?”

“Lihat saja itu... sayang engkau yang secantik ini mau mengorbankan diri menjadl isteri Ouwyang Bouw.”

Kim In yang dituding dadanya itu cepat menunduk dan menahan jeritnya. Bajunya telah berlubang, baju luar dalam sehingga sebuah di antara ujung buah dadanya mencuat keluar tanpa dirasakannya sama sekali! Dia mendengar angin menyambar dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata yang tampak hanya bayangan Kun Liong berkelebat dan pemuda itu sudah lenyap dari depannya!

Kini ini menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menutupi buah dada yang menjenguk keluar seperti melalui jendela itu dengan tangan kirinya, termenung dan termangu-mangu.

Akan tetapi di wajahnya yang cantik tersungging senyum. Dia merasa ikut bahagia bahwa sumoinya, satu-satunya orang yang dicintanya seperti adiknya sendiri, ternyata telah memperoleh seorang kekasih yang demikian lihai, demikian lucu dan... agak sayang, demikian kurang ajar!

Akan tetapi kekurangajaran yang dapat dia maafkan dan bahkan membuat dia tersenyum geli. Gara-gara dia hendak memperlihatkan kepandaiannya, ternyata dia malah mendapat malu. Kalau saja Kun Liong menghendaki, setelah dapat merobek baju luar dalam di dada tanpa dirasainya, tentu pemuda itu dapat melakukan apa pun juga terhadap dirinya tadi!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: