*

*

Ads

FB

Minggu, 13 November 2016

Petualang Asmara Jilid 134

“Srettt...!” Liong Bu Kong mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat, akan tetapi dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam yang ampuh itu ke atas tanah. “Lihat, aku telah membuang pedangku, Nona. Aku tidak akan melawan seorang dara yang kucintai sepenuh jiwa ragaku.”

Giok Keng terkejut bukan main. Tadinya dia masih meragukan ketulusan hati pemuda putera datuk sesat ini, maka dia masih mempertahankan hatinya dan menekan perasaan. Kini melihat pemuda itu benar-benar tidak mau melawannya dan membuang pedang, hatinya terguncang. Namun dia bukanlah seorang dara yang bodoh dan mudah dibujuk orang. Biarpun hatinya terguncang, dia masih membentak.

“Ambil pedangmu dan lawanlah, kalau tidak... hemmm, aku akan membunuhmu!”

Liong Bu Kong tersenyum dan memang pemuda ini tampan dan gagah sehingga senyumnya menambah ketampanan wajahnya.

“Silakan serang dan bunuh aku, Nona. Mati di tangan seorang dara yang kucinta merupakan kematian yang amat bahagia.”

“Siapa percaya bujukanmu? Mampuslah!”

Giok Keng sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya menyerang dahsyat dengan tusukan ke arah leher pemuda itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Giok Keng melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak mengelak, hanya memandang kepadanya dengan senyum di bibir.

“Aihhh...!”

Giok Keng yang terkejut itu berusaha menyelewengkan tusukannya karena tentu saja dia sebagai seorang dara perkasa tidak mau membunuh orang yang tidak melawan, namun usahanya itu tidak berhasil sepenuhnya dan pedangnya sudah menembus pundak kiri Bu Kong!

Ketika Gin-hwa-kiam dicabutnya dan ditariknya kembali, darah mengucur dari pundak pemuda itu yang berdiri dengan tubuh bergoyang menahan rasa nyeri yang hebat akan tetapi yang masih memandang Giok Keng dengan pandang mata mesra penuh cinta dan mulut tetap tersenyum.

“Ahhh... apa yang kau lakukan...? Mengapa kau tidak mengelak? Mengapa tidak menangkis? Mengapa...?”

Giok Keng terbelalak, melepaskan pedangnya jatuh ke atas tanah dan bagaikan dalam mimpi dia menghampiri pemuda itu, merobek baju di bagian pundak yang terluka dan ternyata pedangnya telah mengakibatkan luka yang cukup hebat karena pedang yang runcing tajam itu telah menembus pundak kiri pemuda itu!

“Celaka... kau... kau membiarkan aku melukai seorang yang tidak melawan... darahnya mengucur deras, kalau tidak dihentikan, bisa berbahaya...”

“Hemm, biarlah, Nona. Kalau kau memang benci kepadaku, apa artinya luka ini? Kau bunuh pun aku akan rela, karena biarpun kau benci, aku tetap cinta padamu...”






Giok Keng sudah mengeluarkan saputangannya.
“Bodoh! Siapa benci padamu?” katanya dan tanpa bicara lagi dia membalut luka di pundak itu dengan saputangannya.

Mula-mula ditaruhnya obat luka yang dibawanya ke atas luka di depan dan belakang pundak, kemudian dia menggunakan saputangannya yang bersih menutupi luka itu, dan membalutnya dengan robekan baju pemuda itu sendiri sampai erat sekali sehingga darahnya berhenti mengucur.

“Nona... nona... Giok Keng... benarkah itu? Benarkah kau tidak membenciku?” Kedua tangan Bu Kong menekan kedua pundak dara itu dengan gemetar semua jari tangannya, suaranya juga menggetar penuh perasaan. “Kalau begitu... kalau begitu engkau pun... cinta kepadaku seperti aku cinta padamu...?”

Wajah Giok Keng menjadi pucat, kemudian merah sekali. Dia telah selesai membalut dan menghadapi pertanyaan itu, dia menundukkan mukanya.

“Entahlah...”

Jari-jari tangan yang gemetar itu memegang muka dara itu, dipaksanya dengan halus muka itu tengadah.

“Giok Keng... Moi-moi... kau pandanglah aku... kau... kau... kau juga cinta padaku? Benarkah ini? Demi Tuhan... kau juga cinta padaku seperti aku cinta padamu...?”

Sejenak mereka berpandangan, dan Giok Keng lalu memejamkan matanya, dan dua butir air mata bertitik turun.

“Moi-moi...!”

Bu Kong mengecup kedua pipi, mengecup air mata itu, kemudian dia mencium bibir Giok Keng.

Kalau hati sudah tertarik memang membuat orang atau tepatnya seorang dara muda gampang sekali jatuh! Giok Keng menggigil, seluruh tubuhnya menggigil ketika mula-mula merasa betapa air mata di pipinya dikecup pemuda itu, kemudian bumi serasa goyah seperti ada gempa bumi hebat, dunia seperti berputar ketika dia merasa betapa mulutnya dicium oleh pemuda itu, dicium dengan mesra sekali. Hampir dia pingsan dan sejenak dia menyerah, menyerah bulat-bulat dengan setulusnya hati, dengan hati yang penuh kebahagiaan, merasa dicinta dan mencinta.

Akan tetapi dia segera teringat, meronta dan melangkah mundur. Dengan muka pucat dipandangnya pemuda itu yang kini menunduk, dengan kedua lengan tergantung lepas di kanan kiri tubuh, lalu berkata dengan suara penuh penyerahan.

“Ampunkan aku, Giok Keng. Aku... aku cinta padamu... dan kalau kau anggap perbuatanku tadi terlalu kurang ajar, ambillah pedangmu, jangan berlaku kepalang. Kalau kau tidak membalas cintaku, bunuhlah aku. Tusuklah tembus dada ini agar berakhir penderitaanku...!”

Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi. Giok Keng cepat menyambar pedang Gin-hwa-kiam, disarungkannya dan dia memaksa hatinya untuk dapat bicara, suaranya gemetar,

“Aku... aku tidak benci padamu... aku tidak tahu apakah cinta... akan tetapi aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Selamat tinggal...!”

Giok Keng lalu melarikan diri secepatnya. Dia mendengar suara pemuda itu memanggilnya, dan hampir saja dia berlari kembali, akan tetapi ditahannya hatinya dan ditulikannya telinganya. Air matanya bercucuran dan dia mempercepat larinya sehingga tak lama kemudian panggilan pemuda itu lenyap, tak terdengar lagi olehnya.

Semalam suntuk dia melanjutkan perjalanannya dan pada keesokan harinya dia mendengar suara tangis di dalam sungai dekat kuil tua. Ketika dia menghampiri sungai itu, dilihatnya Hwi Sian sedang merendam tubuh di dalam air yang jernih sambil menangis!

“Hwi Sian...! Mengapa kau? Mengapa pula menangis?”

Giok Keng menegur penuh keheranan, dan seketika dia lupa akan urusannya sendiri yang selama semalam telah mengganggu pikirannya.

Hwi Sian terkejut, menengok dan melihat Giok Keng, dia merasa makin berduka sehingga tangisnya mengguguk, dari mulutnya hanya terdengar suara tangis dan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh Giok Keng.

“Hwi Sian, ada apakah?” kembali dara ini mendesak penuh keheranan.

“...aku cinta padanya... hu-hu-huuh, aku cinta padanya...” Akhirnya Hwi Sian dapat menjawab, akan tetapi jawabannya hanya “aku cinta padanya” yang dikatakan berkali-kali.

Ucapan ini merupakan ujung pedang yang menusuk hati Giok Keng karena seolah-olah merupakan sindiran akan cintanya kepada Liong Bu Kong! Akan tetapi melihat bahwa Hwi Sian menangis benar-benar, dia lalu memutar otak dan menduga-duga siapakah gerangan yang dicinta oleh gadis itu!

“Siapa? Siapa yang kau cinta itu?”

“Aku cinta padanya... aaahhh, aku cinta padanya!” Hwi Sian berkata lagi.

Giok Keng menjadi tidak sabar.
“Kemana dia sekarang?”

“Dia pergi... meninggalkan aku... huhuuhhh, aku cinta padanya tapi dia pergi...”

“Kemana?”

Hwi Sian seperti seorang anak kecil, hanya menudingkan telunjuknya ke depan dan Giok Keng segera meloncat dan berlari cepat, menuju ke arah yang ditunjuk oleh gadis itu.

Tak lama kemudian, di dalam sebuah hutan, dia mendengar suara keras disusul robohnya sebatang pohon. Dia cepat menghampiri dan melihat Kun Liong yang merobohkan dengan pukulannya tadi. Kemudian dia melihat pemuda itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah, termenung-menung, kemudian berteriak.

“Tidak sudi!” dan memukul hancur sebuah batu besar di dekatnya.

Maka muncullah Giok Keng sambil menegur karena perbuatan Kun Liong itu amat mengherankan hatinya.

Demikianlah, Kun Liong yang ditegur menjadi gugup dan menjawab bahwa dia memukul pohon dan batu untuk latihan! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar dara itu berkata dengan suara bernada penuh teguran,

“Yap Kun Liong, engkau sungguh seorang yang berhati kejam!”

“Cia Giok Keng, apa maksudmu?” Kun Liong bertanya dan memandang heran.

“Mengapa engkau begitu kejam terhadap Hwi Sian!”

Seketika pucat wajah Kun Liong mendengar ini. Celaka, pikirnya. Temyata Hwi Sian seorang yang tidak bisa dipercaya! Betapa mudahnya Hwi Sian menceritakan peristiwa itu kepada orang lain begitu saja! Saking kaget dan bingungnya, dia tidak mampu menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak.

“Mengapa engkau pergi meninggalkan Hwi Sian begitu saja, padahal dia sangat mencintamu? Aku melihat dia menangis dan seperti orang kehilangan ingatan, hanya bilang bahwa dia mencintaimu berkali-kali dan bahwa engkau pergi meninggalkan dia. Apakah itu tidak kejam?”

Lega hati Kun Liong dan dia merasa kasihan sekali kepada Hwi Sian. Kiranya dara itu tidak menceritakan peristiwa semalam, hanya mengatakan cinta kepadanya dan ditinggal pergi karena ketahuan menangis oleh Giok Keng. Dia menarik napas panjang lalu berkata,

“Giok Keng, betapa cinta kasih dapat dipaksakan? Betapa mungkin cinta kasih dapat memilih orangnya? Memang Hwi Sian menyatakan cinta kepadaku, akan tetapi kalau tidak ada perasaan seperti itu di dalam hatiku kepadanya, salahkah aku?”

“Kun Liong, Hwi Sian adalah seorang dara yang cantik dan gagah, seorang wanita yang baik. Bagaimana mungkin engkau tak dapat membalas cintanya?”

“Dia sudah bertunangan dengan Ji-suhengnya...”

“Pertunangan bisa saja diputuskan! Ikatan jodoh haruslah diadakan oleh dua orang yang bersangkutan, oleh pria dan wanita itu sendiri karena hal itu menyangkut kehidupan mereka selamanya! Mereka berdualah yang akan menghadapinya, yang akan berdampingan selama hidupnya, bukan orang tua atau guru yang menjodohkan!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan penuh semangat oleh Giok Keng sehingga mengherankan hati Kun Liong.

“Apalagi, engkau sendiri pun sudah bertunangan. Sebaliknya engkau dan dia, kalau memang saling mencinta, membatalkan pertunangan masing-masing dan...”

“Giok Keng, apa maksudnya ucapan ini? Aku bertunangan? Bagaimana ini, aku tidak mengerti.”

Giok Keng menarik napas panjang.
“Tentu saja kau tidak mengerti. Nah, kau bacalah ini dulu.”

Dia mengeluarkan sesampul surat dari saku bajunya, menyerahkannya kepada Kun Liong kemudian meninggalkan pemuda itu, duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ, termenung dan membelakangi Kun Liong.

Pemuda gundul ini menjadi makin heran. Dengan hati berdebar dan merasa tidak enak dia membuka sampul dan membaca surat yang ditulis dengan gaya coretan yang indah dan gagah. Tulisan Pendekar Sakti Cia Keng Hong, ditujukan kepadanya! Membaca kalimat-kalimat terakhir, mukanya berubah menjadi merah sekali, dan matanya terbelalak.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: