*

*

Ads

FB

Minggu, 13 November 2016

Petualang Asmara Jilid 132

Melihat kegelisahan Kun Liong, Hwi Sian yang merasa makin lemah, tubuhnya panas semua itu berkata,

“Kun Liong... jangan takut... dia... dia memiliki ilmu kepandaian tinggi... takkan kalah oleh Liong Bu Kong... aku... aku... ahhh...” Dara ini tak dapat bertahan lagi dan pingsan.

Barulah Kun Liong terkejut. Cepat dia memeriksa dan diam-diam dia memaki kakek raksasa yang memukul gadis ini. Paha itu matang biru dan menghitam, dan seluruh tubuh Hwi Sian panas sekali. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat pemunah tentu akan berbahaya sekali keadaannya.

Maka dia menghentikan usahanya mencari Giok Keng dan mendayung perahunya menuju ke sebuah hutan di seberang. Kemudian setelah perahunya mendarat, dia memondong tubuh Hwi Sian dan meloncat ke darat, terus membawa dara itu memasuki hutan karena dia harus cepat-cepat berusaha mengobatinya sebelum terlambat.

Hwi Sian merintih lirih, membuka matanya. Pertama-tama yang menarik pandang matanya adalah nyala api unggun di sebelah kanannya, api unggun yang bukan hanya mendatangkan hawa hangat nyaman, akan tetapi juga mendatangkan penerangan sehingga dia dapat melihat bahwa dia berada di dalam sebuah kamar kuil tua, di atas lantai yang agaknya baru saja disapu bersih. Dan Kun Liong duduk di atas lantai, dekat dia, memeriksa dan mengobati paha kanannya dengan cara menempelkan telapak tangannya ke atas paha.

Hwi Sian merasa heran sekali. Dia dapat merasakan betapa dari telapak tangan pemuda itu keluar hawa yang menyedot pahanya, dan dia merasa betapa panas yang tadi menyerangnya telah menurun, kepalanya tidak pening lagi, rasa nyeri pada pahanya sudah mengurang.

Ketika Kun Liong menghentikan pengobatannya menyedot hawa beracun dari paha dara itu, dia lalu memandang Hwi Sian, tersenyum dan berkata,

“Tenanglah, Hwi Sian. Hawa beracun telah lenyap dan untung tidak ada tulang dan urat yang rusak oleh pukulan keji itu.”

Sejenak Hwi Sian tidak menjawab, hanya memandang wajah pemuda berkepala gundul itu, bibirnya tersenyum akan tetapi dari matanya keluar dua titik air mata. Mula-mula Kun Liong juga hanya memandang. Mereka saling pandang di bawah cahaya nyala api unggun yang kemerahan dan yang membuat wajah mereka nampak indah dan aneh. Kemudian pemuda itu melihat keluarnya dua titik air mata, maka dia berseru,

“Heiii! Ada apa lagi ini? Mengapa kau sekarang berubah menjadi cengeng (mudah menangis)?”

Ditanya dengan suara sendau gurau ini, makin bertambah air mata mengalir di atas sepasang pipi yang halus itu, bahkan kini Hwi Sian terisak.

“Eh-eh...! Kau kenapakah?”

Kun Liong mengangkat bangun dara itu sehingga terduduk, dan menggunakan tangannya menghapus air mata yang membasahi pipi. Tak disangkanya bahwa perbuatannya ini bahkan membuat Hwi Sian tersedu-sedu dan dara itu menjatuhkan mukanya di atas dada Kun Liong.

Kun Liong bingung dan bengong, tak tahu dia apa yang berada di dalam hati dara ini dan tak tahu pula apa yang harus dilakukannya. Maka dia diam saja, hanya mengelus rambut yang halus dan harum itu.






“Kun Liong...” Akhirnya Hwi Sian dapat juga bicara setelah tangisnya mereda.

“Hemmm...?”

Kun Liong tidak berani bicara banyak, khawatir kalau kata-katanya akan mendatangkan lebih banyak air mata lagi.

“Kau terlampau baik kepadaku...”

“Ehh...? Masa...?”

Dia masih belum berani bicara banyak, karena belum tahu kata-kata bagaimana yang harus dia keluarkan agar tidak mendatangkan tangis lagi.

“Berkali-kali kau menolongku, menyelamatkan aku dari malapetaka, seolah-olah memberikan kembali nyawaku yang sudah terancam maut, dan aku... aku hanya menghinamu...”

Kun Liong tersenyum di balik rambut-rambut yang harum itu. Kini lega hatinya. Kiranya itu yang membuat Hwi Sian menangis. Dara ini diserang perasaan terharu! Untuk membuyarkan perasaan haru, satu-satunya jalan adalah sendau- gurau.

“Ah? Masa? Kan engkau sudah memberi upah berkali-kali kepadaku! Engkau pernah memberi upah cium, ingatkah?”

Seketika Kun Liong merasa betapa tubuh yang merapat di dadanya itu menggigil, kemudian terdengar suara Hwi Sian dari dadanya.

“Itulah... dan aku menganggapmu... ahhh...” Kembali dara itu menangis!

Celaka, pikir Kun Liong. Dibawa sendau gurau, malah menangis lagi. Apa akalnya? Bagaimana kalau dipancing biar dara ini marah saja? Kemarahan dapat menghilangkan haru dan duka, biasanya begitu.

“Eh, Hwi Sian! Kau menangis lagi?”

“Aku... berhutang budi terlalu banyak kepadamu...”

“Budi apa? Sudah lunas? Dan sekarang juga akan lunas kalau kau mau memberi upah cium kepadaku!”

Ucapan ini sengaja dikeluarkan oleh Kun Liong, bukan hanya karena setiap kali melihat Hwi Sian, melihat mulut dara ini yang luar biasa manisnya membuat dia ingin menciumnya, akan tetapi juga dia keluarkan dengan maksud agar dara itu menjadi marah kepadanya.

Benar saja. Tubuh itu meregang dalam pelukannya, akan tetapi Kun Liong yang sudah mengharapkan gadis itu marah dan menampar atau memakinya, merasa betapa tubuh itu lemah kembali dan terdengar suara halus menggetar,

“Kalau begitu... kau... kau ciumlah aku, Kun Liong...”

Kun Liong terkejut dan menunduk. Inilah salahnya. Begitu menunduk, dia melihat wajah gadis itu yang diangkat sehingga dia melihat mulut yang bibirnya merah membasah, terbuka sedikit dan seperti menantang itu. Tidak kuat dia bertahan lagi, apalagi ciuman ini disetujui dan diminta oleh Hwi Sian! Dan dia memang suka menciumnya. Apa salahnya? Tanpa bicara lagi, dia menunduk dan bertemulah dua buah mulut itu dalam ciuman yang mesra dan lama. Kun Liong merasa betapa mulut dara itu menggetar, kemudian mengeluarkan rintihan dan kedua lengan Hwi Sian merangkulnya ketat sehingga ciuman mereka makin melekat.

Setelah mereka menghentikan ciuman dengan napas terengah-engah, Hwi Sian merangkul Kun Liong dan berkata dengan suara merintih, dengan tubuh panas dan mata terpejam,

“Kun Liong... Kun Liong... aku cinta padamu...”

“Aih, Hwi Sian, jangan bicara tentang cinta. Kau sudah tahu...”

“Memang, aku sudah tahu. Kau tidak cinta padaku. Kau hanya suka menciumku. Bukankah begitu?”

“Maafkan aku...”

“Kun Liong, aku... aku akan membunuh diri saja...”

“Heiii! Gila kau...!”

“Ketahuilah, aku... telah ditunangkan dengan Ji-suheng (Kakak Seperguruan ke dua)...”

“Ah, dengan Tan Swi Bu? Bagus sekali! Tan-enghiong itu seorang laki-laki yang gagah perkasa!” Ucapan ini keluar dengan setulus hatinya.

“Tidak, setelah ini, aku tidak mungkin dapat menjadi isterinya atau isteri siapagun juga. Aku... aku akan membunuh diri saja!”

“Hushh, jangan bicara ugal-ugalan kau!” Kun Liong menegur setengah menggoda. “Aku takkan membiarkan engkau membunuh diri.”

“Dengan kepandaianmu, kau tentu bisa mencegahku, akan tetapi apakah selamanya engkau akan menjagaku? Tidak, Kun Liong. Engkau takkan dapat mencegahku, dan aku bukan bicara main-main, aku benar-benar akan membunuh diri. Aku cinta kepadamu, aku diam-diam telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu, akan tetapi kalau aku terpaksa harus berpisah darimu dan menjadi isteri orang lain yang tidak kucinta, biarlah aku membunuh diri saja daripada membikin susah hati orang lain.”

“Wah-wah, kau bikin aku bingung, Hwi Sian. Kau tahu aku tidak mencintamu, tidak mencinta siapa-siapa dan aku jujur dalam hal ini. Aku suka kepadamu, akan tetapi tidak mencinta seperti yang kau maksudkan, cinta yang membawa pernikahan antara pria dan wanita. Aku... aku... wah, aku jadi bingung karena khawatir. Jangan kau bunuh diri, Hwi Sian. Berjanjilah, bersumpahlah bahwa kau tidak akan membunuh diri. Kalau tidak, selamanya aku takkan dapat nyenyak tidur dan enak makan!”

“Kun Liong, keputusanku sudah bulat. Aku akan membunuh diri begitu kita saling berpisah, kecuali... kecuali kalau kau menaruh kasihan kepadaku.”

“Lho! Kau ini benar-benar aneh! Ataukah iblis penjaga hutan dan kuil tua ini yang sudah menggoda pikiranmu? Tentu saja aku menaruh kasihan kepadamu, Sayang.”

“Benarkah? Kau kasihan kepadaku dan mau melakukan apa saja untuk menolong diriku dari kenekatan membunuh diri?”

Hwi Sian memandang wajah itu. Kun Liong juga memandang tajam penuh selidik, hendak menjenguk isi hati yang tersembunyi di balik wajah yang basah oleh air mata itu. Dia tahu bahwa Hwi Sian tidak main-main bahkan belum pernah dia melihat dara yang berwatak jenaka dan periang itu bersikap serius seperti saat ini. Akan tetapi dia harus cerdik, tidak boleh membiarkan diri diakali.

“Aku memang kasihan kepadamu, suka kepadamu, dan tentu saja aku suka melakukan apa saja untuk menolongmu dari kenekatan gila itu, asal saja bukan untuk... untuk menikah denganmu!”

Bangga hati Kun Liong karena dia sudah dapat mendahului gadis itu sehingga menutup jalan bagi Hwi Sian untuk mengakalinya. Akan tetapi dia kecele ketika mendengar dara itu berkata.

“Tidak, aku pun tahu bahwa tak mungkin aku menikah denganmu, karena selain engkau tidak mencintaku, juga aku sudah ditunangkan dengan orang lain. Aku hanya minta tolong kepadamu agar engkau suka menjadikan aku sebagai isterimu...”

“Heiii! Gila kau! Tidak ingin menikah denganku tapi ingin menjadi isteriku, apa artinya ini?”

“Kun Liqng, hanya... hanya untuk malam ini... kau penuhilah hasrat hatiku, aku hanya dapat menyerahkan hati dan tubuhku kepadamu. Kalau kau sudi memenuhi permintaanku, aku... aku bersumpah tidak akan membunuh diri... bahkan aku akan rela menjadi isteri Ji-suheng...”

“Wah, apa-apaan ini? Aku...”

Hwi Sian sudah merangkulnya lagi.
“Kau suka kepadaku, bukan? Kau suka menciumku, bukan? Kun Liong...” Dara itu mendekap dan menciuminya.

Gairah yang membuat Hwi Sian seperti berkobar-kobar itu akhirnya membakar Kun Liong juga. Pemuda yang pada dasarnya memang romantis ini, tak dapat menahan gelombang dahsyat yang menyerangnya, yang datang dari dara yang mencintanya lahir batin itu. Tak mampu dia menahan diri dan sebentar saja keduanya sudah dikuasai oleh berahi yang amat kuat dan tidak ada seorang pun manusia yang kuat bertahan apabila sudah diamuk berahi.

Sekali nafsu mencengkeram manusia, akan mendatangkan keadaan yang tidak mengenal puas. Diberi sejengkal ingin sedepa. Belaian dan dekapan, ciuman mesra sudah tidak memuaskan lagi, ingin lebih, ingin yang terakhir, bagaikan mabuk, dan memang sudah mabuk oleh nafsu yang membuatnya buta akan segala hal, lupa akan segala hal, dengan mata seolah-olah terselubung, Kun Liong menciumi seluruh tubuh Hwi Sian, dari ubun-ubun kepala sampai ke telapak kakinya bahkan mereka berdua sudah tidak merasa atau melihat lagi betapa api unggun menjadi padam, keadaan di dalam kuil menjadi gelap sama sekali, seolah-olah sang api sengaja melarikan diri karena tidak tahan menyaksikan peristiwa yang amat mengharukan itu, peristiwa dimana dua insan hanyut oleh dorongan hasrat dan nafsu, yang membuat mereka lupa akan diri... lupa akan segala sehingga lenyaplah sang aku, lenyaplah segala pikiran, segala ingatan, segala keruwetan dan lenyap pula batas antara suka dan duka.

Di dalam kegelapan kuil dalam hutan itu, tidak tampak apa-apa. Hutan itu pun sunyi tidak disentuh angin. Namun terdengar suara-suara di dalam hutan. Suara malam yang penuh rahasia, suara mahluk-mahluk kecil yang tak tampak, kutu-kutu belalang dan jengkerik, burung malam dan segala macam binatang. Suara yang bersatu padu tanpa diatur, yang menciptakan suara yang aneh penuh rahasia, kadang-kadang terdengar seperti rintihan lirih dan desah napas manusia dalam derita dan siksa, kadang-kadang terdengar seperti jerit kemenangan, jerit kesukaan dan penuh kegembiraan. Sukar menentukan garis pemisah antara kecewa dan kepuasan, antara derita dan nikmat kesenangan!

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: