*

*

Ads

FB

Kamis, 10 November 2016

Petualang Asmara Jilid 124

“Hemm, manusia ganas!”

Nikouw itu berseru, dengan mudah mengelak dan ujung saputangannya meledak mengenai pundak kakek itu.

“Nikouw keparat!”

Kakek itu marah ketika melihat pakaian di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa panas. Sebaliknya Si Nikouw Muda maklum bahwa tubuh kakek itu kebal. Hantaman ujung saputangannya tadi dapat menghancurkan batu karang, akan tetapi pundak kakek itu lecet pun tidak! Maka dia lalu menangkap lengan Kun Liong.

“Hayo pergi!”

Kalau Kun Liong menghendaki, tentu saja dia dapat merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan dan dapat menahan tarikan nikouw itu. Akan tetapi karena nikouw itu telah menjadi penolongnya dan dia pun sudah bosan harus melayani pengeroyokan sekian banyaknya perajurit, dia pun membiarkan dirinya diseret dan dia lari cepat sekali diseret
oleh nikouw muda yang ternyata memiliki gin-kang istimewa,

Tentu saja Kun Liong tidak tega membiarkan nikouw itu kelelahan, maka diam-diam dia pun mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya ringan dan biarpun kelihatan dia diseret, namun sebenarnya dia berlari sendiri!

Setelah lari jauh dan para pengejarnya sudah tidak tampak atau terdengar lagi, Kun Liong sengaja terengah-engah dan berkata,

“Aduhhh... berhenti... aduhh... napasku... senin kamis... huh-huh-huhhh...”

Nikouw itu melepaskan pegangannya dan mereka menjatuhkan diri duduk di bawah pohon. Nikouw itu memandang kepada Kun Liong sambil tersenyum melihat betapa pemuda itu ngos-ngosan napasnya.

“Aih, kiranya engkau hanya pandai dalam hal ilmu pengobatan saja, akan tetapi ilmu silatmu tidak berapa tinggi.”

“Huuh-hahhh... kau sih lari seperti kuda saja!”

Nikouw itu cemberut dan heranlah Kun Liong. Mana ada orang cemberut kok malah makin manis?

“Kau samakan aku dengan kuda?”

“Ibarat kuda, engkau tentulah kuda ajaib yang disebut Han-hiat-po-ma (Kuda Ajaib Berkeringat Darah) yang kabarnya sehari dapat lari seribu li.”

“Tidak sudi! Biarpun disamakan dengan kuda dewa sekalipun aku tidak sudi. Kuda nasibnya hanya ditunggangi orang! Aku bukan kuda!”






Kun Liong bengong, tidak hanya terheran-heran melihat sikap wanita, watak wanita yang selalu berbeda dan dianggapnya edan-edanan dan kekanak-kanakan ini, akan tetapi juga heran karena setelah marah malah lebih manis daripada ketika cemberut tadi. Agaknya dalam setiap gerak-geriknya, nikouw muda jelita ini memiliki daya tarik yang berbeda, yang satu lebih menarik dan manis daripada yang lain!

“Sabar... sabar... aku hanya mengatakan larimu seperti kuda saking cepatnya.”

“Itu pun menghina namanya!”

“Elhoooh! Bukankah kuda itu paling cepat larinya? Bukan menghina melainkan memuji.”

“Siapa bilang. Larinya kuda saja berapa cepatnya sih? Aku sanggup berlari lebih cepat dari kuda!”

“Wah-wah, kalau begitu engkau tentu seorang bidadari dari kahyangan, bukan seorang manusia.”

“Ngawur, aku hanya seorang nikouw.”

“Nikouw palsu.”

“Nikouw benar-benar, tetapi nikouw terpaksa, hatiku bukan nikouw akan tetapi terpaksa aku menjadi nikouw...” Dan tiba-tiba nikouw itu menangis sesenggukan!

“Aihhh... Nona yang baik, kau maafkan aku...” Kun Liong berlutut di depan nikouw itu.

“Heii, apa kau gila? Apa yang kaulakukan ini?”

Nikouw itu lupa kesedihannya dan membentak menegur Kun Liong yang sudah duduk kembali.

“Kau kira engkau menangis karena kata-kataku yang tidak sopan atau yang menyinggung.”

“Tidak sama sekali. Aku hanya ingat akan nasibku. Sudahlah, tak perlu bicara tentang diriku.”

“Aku seperti pernah mendengar suaramu, bukan menjadi kebiasaanku melupakan suara yang amat merdu dan halus. Selama hidupku tentu akan teringat, akan tetapi entah dimana karena kita tidak pernah saling bertemu. Mungkin dalam mimpi aku mendengar suaramu...”

“Bodoh, biarpun dalam mimpi, mana bisa mendengar suara orang yang belum dijumpainya. Engkau memang pernah mendengar suaraku.”

“Benar-benarkah? Di mana? Kapan?”

“Ketika engkau mengobati seorang nikouw didalam joli yang terluka... anunya...”

Agaknya nikouw muda itu tidak sampai hatinya untuk menyebut sebuah pinggulnya yang terluka dahulu itu. Menceritakannya kembali saja membuat dia teringat dan seolah-olah dia merasakan kembali betapa jari tangan pemuda ini telah menyentuh kulit pinggulnya, membuat bulu tengkuknya berdiri!

“Apa...?” Kun Liong bengong memandang wajah nikouw itu dan aneh! Yang tampak olehnya adalah sebukit pinggul berkulit putih kuning halus dan yang terluka oleh jarum merah. “Pinggul... eh pinggul...” Dia mau bicara akan tetapi karena matanya membayangkan pinggul otomatis dari mulutnya keluar kata-kata itu membuat Si Nikouw Muda makin merah mukanya. “Maaf, iihh, kenapa mulut ini? Aku sekarang ingat. Pantas saja aku mengenal suaramu. Jadi engkaukah nikouw yang terluka oleh jarum merah itu? Siapakah engkau dan mengapa pula engkau sampai bisa terluka oleh Ouwyang Bouw?”

Kini nikouw itu memandang wajah Kun Liong dengan penuh keheranan.
“Kau mengenal senjata rahasia Ouwyang Bouw?”

Kun Liong mengusap-usap kepalanya.
“Karena jarumnya itulah maka kepalaku sekarang menjadi gundul pelontos seperti ini. Tentu saja aku pernah berjumpa dengan Ouwyang Bouw dan bapaknya Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok.”

Nikouw muda itu bergidik, ngeri mendengar nama-nama itu.
“Anaknya jahat, ayahnya lebih kejam dan lihai luar biasa. Yap Kun Liong, aku telah mendengar namamu disebut banyak orang karena urusan bokor emas, dan memang engkau orang luar biasa sekali. Semua tokoh kang-ouw memperebutkan bokor, engkau yang sama sekali tidak tahu apa-apa malah yang menemukan bokor itu! Aku... aku adalah Pek Hong Ing dan terus terang saja, aku... aku hanya terpaksa menjadi nikouw, maka jangan engkau menyebutku seperti nikouw. Lain orang tidak apa-apa, akan tetapi aku merasa canggung dan tidak enak kalau kau menyebutku sebagai nikouw.”

“Eihh, kalau aku yang menyebutnya mengapa sih? Apa bedanya aku dengan orang lain?”

Hong Ing cemberut dan kembali Kun Liong menelan ludah. Manisnya!
“Kau boleh menyebut aku nikouw, akan tetapi aku pun akan menyebutmu hwesio karena kepalamu juga gundul seperti kepalaku. Bagiku, menjadi pendeta bukanlah lahirnya melainkan batinnya, dan di dalam batinku, aku sama sekali tidak ingin menjadi nikouw.”

Mendengar dara itu bicara dengan serius, Kun Liong tidak mau menggoda lagi.
“Ya sudahlah, Hong Ing, aku menganggap saja engkau seorang dara yang berkepala gundul seperti aku. Tapi kau belum menceritakan bagaimana sampai anumu itu terluka jarum merah milik Ouwyang Bouw.”

“Sebut saja pinggulku, mengapa anumu-anumu? Tidak enak sekali mendengarnya.”

“Eh, bukankah kau sendiri yang menyebut begitu tadi? Aku hanya menirumu.”

“Apa engkau ini selalu hanya pandai meniru orang lain? Meniru sih baik asal yang benar, kalau yang salah masa harus ditiru?”

Kun Liong tertawa. Mengelus gundulnya dan berkata,
“Memang aku tolol... ha-ha, mungkin karena gundul...”

“Ingat, aku pun gundul...” kata Hong Ing dan keduanya tertawa geli.

Tiba-tiba wajah Hong Ing pucat sekali dan Kun Liong cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan perlahan. Tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang dara lain yang wajahnya cantik jelita pula namun dingin dan pada saat itu wajah cantik ini kelihatan marah, sepasang matanya menyinarkan api dan bergantian mata itu menatap wajah Kun Liong dan Hong Ing.

Dengan tubuh lemas Hong Ing bangkit berdiri, sedangkan Kun Liong tetap saja duduk enak-enak karena dia tidak mengenal wanita gagah dan cantik yang datang itu dan tidak merasa bersalah apa-apa, hanya terheran mengapa wanita muda secantik itu kelihatan marah sekali dan mengapa pula Hong Ing kelihatan pucat ketakutan.

“Engkau... Pek Hong Ing! Hemm, biarpun menyamar sebagai nikouw, aku tetap dapat mengenalmu. Sungguh tak tahu malu engkau, Sumoi! Menghindarkan diri dari pernikahan dengan cara menjadi nikouw, akan tetapi apa yang kutemukan di sini? Kau bermain gila dengan seorang hwesio muda! Betapa memalukan dan kau mencemarkan orang yang menjadi gurumu dan sucimu!”

“Suci! Jangan menuduh sembarangan!”

Hong Ing berseru, suaranya mengandung isak karena ucapan sucinya itu benar-benar menusuk perasaannya yang halus.

“Tak perlu memutar lidah membela diri karena jelas kalian tertangkap basah! Apa perlunya kalau tidak main gila duduk di dalam hutan sunyi berduaan saja dan bersendau-gurau tertawa-tawa? Ah, sungguh percuma saja kepala kalian yang gundul itu. Sumoi, hayo kau ikut bersamaku menghadap Subo (Ibu Guru).”

Hong Ing dengan mata terbelalak dan muka pucat menggeleng-geleng kepalanya.
“Tidak... tidak... aku tidak mau kembali ke sana... aku lebih baik mati daripada dipaksa menikah...”

“Keparat! Berbulan-bulan aku mencarimu dengan susah-payah, setelah bertemu kau kudapatkan main gila dengan hwesio ini, dan aku masih sabar, masih mau melupakan itu semua asal engkau suka turut bersamaku menghadap Subo. Aku tidak ingin bicara tentang kelakuanmu di pagi hari ini, dan kau menolak, bahkan memilih mati?”

“Memang lebih baik aku mati!” kata Hong Ing, suaranya kini mantap.

“Singgg...!”

Tampak sinar berkilat ketika wanita cantik yang galak itu mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya.

“Kau memilih mati? Nah, biarlah aku memenuhi permintaanmu, sesuai pula dengan perintah Subo, kalau kau masih membangkang supaya aku membunuhmu.”

Selesai ucapan ini, pedang itu berkelebat dan dia telah menyerang Hong Ing dengan gerakan yang dahsyat sekali. Kun Liong terkejut melihat gerakan itu yang benar-benar amat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali.

Akan tetapi, Hong Ing masih sempat mengelak dengan gerakannya yang lincah dan ringan seperti burung. Namun sucinya terus menyerangnya bertubi-tubi, membuat Hong Ing terdesak hebat dan terpaksa harus berloncatan ke kanan kiri dan belakang untuk menghindarkan diri dari ujung senjata yang membawa maut itu.

“Suci, begini tegakah engkau...? Kita sudah semenjak kecil seperti kakak beradik...”

“Wuuuuttt!”

Hong Ing cepat menjatuhkan dirinya untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang itu. Biarpun Kun Liong dapat melihat bahwa gerakan Hong Ing tidak kalah ringan daripada gerakan sucinya, namun karena dara ini tidak memegang senjata dan juga sama sekali tidak melakukan serangan balasan, hanya mengelak ke sana-sini saja, maka hatinya gelisah sekali dan tak terasa lagi tangannya meraba sebatang ranting kering yang menggeletak di dekatnya.

Kegelisahannya terbukti ketika Hong Ing menjerit terkena tendangan sucinya. Tubuhnya terbanting dan dengan kecepatan kilat sucinya sudah datang menerjang dengan tusukan maut yang agaknya tak mungkin dapat dihindarkan lagi oleh Hong Ing yang sudah rebah miring itu.

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: