*

*

Ads

FB

Senin, 31 Oktober 2016

Petualang Asmara Jilid 102

Kun Liong berjalan seorang diri sambil kadang-kadang tersenyum geli. Dia masih teringat akan nikouw yang diobatinya dan merasa geli kalau teringat betapa tanpa disangka-sangkanya, dia berkesempatan untuk meraba-raba pinggul seorang wanita yang begitu halus dan mulus! Biarpun dia tidak berniat melakukan perbuatan itu melainkan terpaksa untuk mengobatinya, namun kini teringat akan itu, teringat pula betapa nikouw itu menjadi malu, dia tersenyum sendiri. Betapa anehnya semua hal yang dialaminya, pikirnya. Hal-hal yang berhubungan dengan wanita! Dia selalu merasa senang berurusan dengan wanita! Banyak sudah terjadi hal yang menyenangkan.

Dengan Liem Hwi Sian yang diciumnya dan yang ternyata menyatakan cinta kepadanya! Dengan Cia Giok Keng yang cantik jelita akan tetapi galak dan gagah perkasa. Dengan Yo Bi Kiok yang juga menyatakan cinta kepadanya! Dengan Souw Li Hwa yang angkuh. Kemudian dengan nikouw yang hanya dikenal pinggul sebelahnya saja! Aneh semua itu! Sudah ada dua orang dara cantik jelita mengaku cinta kepadanya. Akan tetapi mana mungkin dia membohongi mereka dan mengaku cinta? Tidak, dia tidak sekejam itu! Dia tidak mau membohongi dara-dara yang amat disukanya itu.

Mengenangkan kedua orang dara itu, dia merasa kasihan kepada Hwi Sian dan Bi Kiok. Mengapa dua orang dara itu begitu bodoh dan jatuh cinta kepadanya? Benarkah bahwa mereka mencintanya? Mengapa ketika dia berterus terang menyatakan bahwa dia suka akan tetapi tidak cinta, ketika ternyata bahwa dia tidak membalas cinta mereka, kedua orang dara itu menjadi marah dan berduka? Apakah cinta itu menuntut balasan?

Cintakah atau nafsu berahikah itu yang mendorong pria dan wanita saling mendekat dan masing-masing mencurahkan perasaannya dengan tuntutan yang menjadi dasar, tuntutan itu saling memiliki, saling menguasai, dan saling menyenangkan dan disenangkan? Kalau ada tuntutan seperti itu, sudah pasti sekali tercipta kecewa, duka, cemburu dan benci.

Benarkah bahwa cinta menimbulkan semua kesengsaraan ini? Kalau begitu, bukanlah cinta namanya, yang menimbulkan kecewa, duka, cemburu, benci dan iri adalah pikiran, ingatan. Kalau pikiran memasuki hati, semuanya menjadi keruh dan rusak, karena pikiran memperkuat si aku sehingga segala gerak tubuh, segala gerak hati dan pikiran selalu ditujukan demi kepentingan dan kesenangan si aku.

Maka cinta pun menjadi bukan cinta lagi karena di situ terkandung tuntutan supaya aku dicinta, aku diperhatikan, aku dipuaskan, engkau menjadi milikku, aku menggantungkan semua harapan akan kepuasan dan kenikmatan hidup kepadamu. Selama engkau melayani segala kebutuhanku lahir batin, selama engkau memuaskan aku, selama engkau menyenangkan aku, selama engkau menjadi milikku pribadi, mulut ini tak segan-segan menyatakan “aku cinta padamu”.

Akan tetapi kalau engkau mengingkari semua tuntunanku itu, kalau engkau tidak mau melayani kebutuhan lahir batin dariku, kalau engkau mengecewakan aku, kalau engkau tidak menyenangkan aku, kalau engkau melepaskan diri dariku dan lari kepada orang lain, cintaku berubah menjadi cemburu dan benci!

Kun Liong menggaruk-garuk kepalanya. Yang begitukah cinta? Betapa rendah tipis dangkal dan tidak bermutu! Betapapun juga, dia menyesal teringat bahwa dia menyebabkan dua orang dara itu berduka dan kecewa. Akan tetapi, nanti dulu! Benarkah dia yang menyebabkan mereka berduka? Bukankah yang menjadi penyebab adalah pikiran mereka sendiri? Di dunia ini apapun yang menimpa diri secara batiniah, yang menimbulkan perasaan girang-sedih, cinta-benci, puas-kecewa dan suka-duka, sama sekali tidak disebabkan dari luar, melainkan disebabkan oleh ingatannya sendiri. Ingatan yang menimbulkan itu semua.

Kalau orang tidak mengingat akan masa lalu apakah ada itu yang dinamakan benci, duka dan sebagainya? Membenci seorang lain tentu ditimbulkan oleh ingatan akan masa lalu, apa yang telah dilakukan oleh orang itu terhadap dirinya, tentu saja yang merugikan akunya. Ingatannya yang menjadi gara-gara kesengsaraan hidup. Dapatkah manusia hidup bebas dari ingatan, bebas dari pikiran?






Kun Liong menggerakkan kedua pundaknya dan melanjutkan perjalanannya memasuki hutan terakhir di kota Liok-bun. Agaknya kota ini dinamakan Liok-bun (Enam Pintu) karena pintu gerbangnya berjumlah enam buah.

Ingatan memang ada perlunya, dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil melangkah ke dalam hutan yang indah itu. Akan tetapi ingatan itu hanya perlu untuk menghadapi urusan lahiriah yang nyata, untuk keperluan pemeliharaan dan kelangsungan hidup ini. Tanpa ingatan tentu akan kacau-balau kehidupan lahiriah ini. Akan tetapi, sekali ingatan membayangkan segala hal yang lalu dan yang akan datang, membayangkan peristiwa-peristiwa yang dibagi dua sebagai hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, kalau pikiran memasuki batin, maka terciptalah segala perasaan yang bertentangan dan menjadikan hidup manusia ini seperti dalam neraka yang diceritakan dongeng.

Tiba-tiba Kun Liong sadar dari lamunannya oleh suara yang datang terbawa angin. Suara tambur dan terompet, suara banyak orang, suara pasukan yang besar! Suara itu datang dari arah depan, dari kota Liok-bun. Agaknya di kota itu terdapat banyak pasukan, pikirnya sambil mempercepat langkahnya karena dia menjadi ingin sekali tahu mengapa tempat itu penuh dengan pasukan.

Ketika dia melangkah dengan tergesa-gesa itu, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.

“Eh, bukankah kau Kun Liong...?”

Kun Liong cepat menahan langkahnya dan menoleh ke kiri. Betapa girangnya ketika dia mengenal Pendekar Sakti Cia Keng Hong sedang duduk seorang diri di bawah pohon! Cepat dia menghampiri dan memberi hormat.

"Cia-supek...! Mengapa Supek berada disini seorang diri?"

Cia Keng Hong yang berpakaian sederhana dan membungkus rambut kepalanya dengan sutera kuning itu tersenyum.

“Duduklah, Kun Liong. Aku sedang mengaso dan menjauhkan diri dari kesibukan pasukan. Betapa indah menyenangkan di tempat sunyi ini setelah berpekan-pekan sibuk menghadapi banyak orang dan melihat kekerasan dan perang. Sungguh benar ucapan seorang pujangga kuno bahwa dimana ada manusia, di situ tentu timbul kekerasan, kekejaman, dan kekacauan. Kebenaran itu terasa sekali kalau kita duduk menyendiri di tempat yang sunyi dari kehadiran manusia seperti di tempat ini.”

Kun Liong duduk di atas rumput dengan pendekar sakti itu.
“Memang tepat sekali apa yang Supek katakan. Teecu (murid) sendiri sudah berkali-kali menyaksikan kekerasan dan kekejaman yang terjadi antara manusia. Apakah selama kita berpisah di Ceng-to dahulu itu keadaan Supek baik-baik saja?”

Cia Keng Hong menarik napas panjang.
“Entah bagaimana aku harus menjawab pertanyaanmu itu. Aku telah melapor ke kota raja, pasukan dikirim dan aku ditugaskan untuk membantu. Pasukan pemerintah berhasil menghancurkan pemberontak, sisanya melarikan diri cerai-berai dan memasuki hutan-hutan. Mereka sudah terpecah belah, tidak membahayakan keamanan negara lagi. Bahkan orang-orang asing itu telah menghubungi pemerintah dan dengan langsung dari kota raja mereka diperbolehkan untuk mendarat dan berdagang, akan tetapi terbatas di sekitar pantai Pohai saja. Aku melihat perang, melihat ratusan orang roboh dan tewas, saling bunuh dan saling sembelih. Entah keadaan seperti itu baik atau buruk.” Pendekar sakti itu menarik napas panjang.

Kun Liong juga menghela napas. Dia sendiri merasa ngeri menyaksikan keganasan manusia saling bunuh.

“Bagaimana dengan engkau sendiri?” Cia Keng Hong bertanya. “Apa yang terjadi dengan gadis yang kita tolong dari rumah Hek-bin Thian-sin di Ceng-to dahulu itu?”

“Nona itu bernama Liem Hwi Sian dan bersama kedua orang suhengnya dia menerima tugas dari gurunya yang bernama Gak Liong di Secuan untuk membantu pemerintah menyelidiki para pemberontak.”

“Hemmm, jadi murid dari pendekar Secuan itu! Pantas dia gagah dan berani sekali, sungguhpun kurang perhitungan dan hampir celaka. Pendekar Gak Liong di Secuan adalah murid keponakan dari Panglima Besar The Hoo dan namanya sudah terkenal, sungguhpun dia sendiri tidak pernah terjun ke dunia ramai. Bagaimana dengan usahamu mencari kedua orang tuamu?”

Kun Liong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya yang gundul.
“Belum ada hasilnya sama sekali, Supek. Teecu merasa heran sekali kemana perginya Ayah dan Ibu.”

Cia Keng Hong memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam, kemudian terdengar dia berkata,

“Kun Liong, aku merasa khawatir sekali akan keadaan orang tuamu. Kalau mereka itu masih hidup, tidak mungkin mereka berdua menyembunyikan diri selama bertahun-tahun ini, setidaknya mereka tentu akan datang mengunjungi kami di Cin-ling-san.”

Kun Liong terkejut dan memandang wajah pendekar itu.
“Maksud... maksud Supek...?”

“Aku khawatir bahwa telah terjadi sesuatu dengan mereka, Kun Liong.”

“Bagaimana Supek dapat menduga demikian?” Kun Liong bertanya, wajahnya agak pucat.

“Pertama, ayah bundamu adalah orang-orang gagah yang tidak mungkin menyembunyikan diri karena takut sampai bertahun-tahun. Kedua, kalau mereka menghadapi kesukaran, ada dua tempat dimana mereka dapat datang, yaitu di Cin-ling-san atau di Siauw-lim-si. Akan tetapi di kedua tempat itu mereka tak pernah muncul. Dan ketiga, kedaan dunia makin kacau, orang-orang golongan sesat bermunculan dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi dengan munculnya orang-orang asing. Karena itu, setelah aku sendiri berusaha menyelidiki dan mendengar-dengar tentang mereka tanpa hasil seolah-olah orang tuamu lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan jejak, mulailah aku ragu-ragu apakah mereka itu masih hidup.”

“Supek...!”

“Kun Liong, kita sebagai manusia harus berani menghadapi kenyataan hidup yang bagaimanapun juga. Kita tidak perlu melarikan diri dari kenyataan, kita harus berani membuka mata menyambut datangnya segala sesuatu yang kita hadapi, baik itu merupakan hal yang semanis-manisnya atau sepahit-pahitnya. Tidak perlu mencari-cari hiburan kosong bagi hati yang dirundung kekhawatiran, karena dengan demikian rasa takut akan makin menggerogoti hati. Kenyataannya adalah bahwa orang tuamu telah lenyap tak meninggalkan bekas, dan ini adalah tidak wajar sama sekali kecuali tentu saja kalau mereka itu telah tewas.”

Kun Liong memejamkan kedua matanya. Sampai lama dia duduk mengatur napas untuk menahan pukulan batin yang timbul dari kekhawatirannya mendengar kata-kata pendekar sakti itu. Cia Keng Hong memandang dengan penuh rasa terharu dan juga kagum. Pemuda ini menarik hatinya dan makin condong hatinya untuk menjodohkan puterinya dengan pemuda ini. Dia mendiamkan saja sampai pemuda itu membuka kembali kedua matanya dan sepasang mata yang tajam itu kelihatan membasah.

“Supek benar. Kita harus berani menghadapi kenyataan hidup, betapapun pahitnya. Dan setelah teecu pikir-pikir, memang tidak mungkin Ayah dan Ibu bersembunyi sampai bertahun-tahun ini. Besar sekali kemungkinan bahwa kedua orang tua teecu itu, telah... telah tewas. Namun tetap teecu akan mencarinya, setidaknya mencari tahu bagaimana hal itu terjadi, kalau benar-benar mereka telah tewas.”

Cia Keng Hong mengangguk.
“Memang semestinya begitu, dan akupun akan berusaha mencari keterangan dari kenalan-kenalanku. Sekarang engkau hendak kemana, Kun Liong?”

“Pertama-tama, teecu akan melanjutkan usaha teecu mengambil kembali dua buah pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Kwi-eng-pang. Selain itu, juga teecu harus minta kembali pusaka bokor emas yang terjatuh ke tangan Kwi-eng Niocu.”

“Bokor emas? Pusaka The-taiciangkun yang hilang?” Cia Keng Hong bertanya.

Kun Liong mengangguk dan dia lalu dengan singkat menceritakan tentang perebutan pusaka yang telah berada di tangannya itu dan terpaksa dia melemparkannya kepada Kwi-eng Niocu dengan harapan kelak dapat dia minta kembali.

Mendengar penuturan itu, Cia Keng Hong menarik napas panjang.
“Aihhhh, tugasmu sungguh amat berbahaya dan berat, Kun Liong. Telaga Kwi-ouw sangat terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya, sesuai dengan namanya. Entah sudah berapa hanyak tokoh kang-ouw tewas ketika berusaha mendatangi pulau di tengah telaga yang dijadikan sarang Kwi-eng-pang.”

“Teecu pernah mendarat di pulau itu, Supek.”

Cia Keng Hong kelihatan terkejut.
“Heh? Benarkah?”

Kun Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia pergi ke pulau di tengah Telaga Setan itu, betapa di tepi telaga dalam hutan dia bertemu dengan Toat-beng Hoat-su yang tidak dikenalnya, kemudian betapa dia ditipu oleh pelayan wanita Kwi-eng Niocu sehingga tertawan dan dia dijadikan rebutan antara Siang-tok Mo-li dan Toat-beng Hoat-su sehingga akhirnya dia menjadi tawanan kakek datuk kaum sesat nomor satu itu.

“Aihhh, kalau begitu engkau sama sekali belum mengenal Telaga Setan dan pulaunya itu,” kata Cia Keng Hong. “Dan masih untung engkau tertawan secara itu karena andaikata engkau yang belum mengenal rahasia Telaga Setan itu datang sendiri kesana dan melakukan pendaratan, mungkin engkau akan celaka dan tewas dalam jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya. Aku pemah mendengar penuturan seorang sahabat yang telah berhasil menyelidiki rahasia itu maka kalau kau hendak mendarat ke sana, sebaiknya engkau mempelajari rahasia-rahasia yang akan kulukiskan untukmu.”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: