*

*

Ads

FB

Rabu, 21 September 2016

Petualang Asmara Jilid 030

“Aihh, namanya serem, orangnya hanya bocah gundul!” Li Hwa mencela.

“Sombong kau, ya?” Kun Liong membentak.

“Husshhh, bukan saatnya ribut-ribut urusan tak berarti. Anak-anak, mari kita keluar dari sini.”

Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah ke pintu baja, tangan kanannya yang tertutup lengan baju yang lebar itu mendorong ke depan.

“Braaakkkk...!!”

Pintu baja itu terdorong roboh ke luar dan terbukalah lubang besar di dinding bekas pintu itu.

Seorang penjaga berseru kaget, menerjang masuk dengan goloknya. Akan tetapi, dengan gerakan seperti seekor burung walet, Li Hwa mencelat ke depan, tangan kirinya menahan lengan yang bergolok, tangan kanan meninju perut. Penjaga itu berteriak dan roboh terguling. Melihat ini, Kun Liong kagum bukan main. Anak perempuan itu benar-benar tidak membual ketika bercerita tadi, ternyata biarpun kaki kanannya masih sakit, dalam segebrakan saja mampu merobohkan seorang penjaga!

“Eh, jangan banyak bergerak, nanti kakimu patah lagi, Nona!”

Tosu tua itu berkata dan tahu-tahu Li Hwa sudah melayang naik ketika tangan gadis itu dipegang dan ditarik oleh Si Tosu dan Li Hwa kini sudah duduk di atas punggung kakek itu! Kun Liong tidak mau kalah melihat ada penjaga ke dua datang menyerbu, dia meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur ke depan.

“Haaaiiittt! Dessss...!!” kedua kaki yang kecil itu dengan tepat mengenai muka dan dada penjaga tadi yang terjengkang ke belakang dan roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali karena kedua matanya tak dapat dibuka, kena hantam sepatu Kun Liong dan napasnya juga sesak!

Kun Liong sendiri yang melakukan gerakan meloncat lalu menendang, terpental dan menumbuk dinding, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan berdiri dengan terhuyung. Dilihatnya seorang penjaga datang lagi dengan pedang diangkat tinggi-tinggi hendak menyerang tosu yang menggendong Li Hwa dan yang bersikap tenang sambil memandang kepada Kun Liong dengan senyum geli, Kun Liong cepat berlari ke depan menyambut penjaga itu dengan serudukan kepalanya.

“Hyaaahhhh! Ngekkkk!!”

Penjaga itu terjengkang, terbatuk-batuk, dadanya sesak perutnya mulas, dan Kun Liong melompat ke belakang, terhuyung karena kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang!

“Kun Liong, mari ikut pinto keluar dan jangan sembarangan bergerak. Biar pinto yang membuka jalan.”

Kun Liong menurut karena gerakan-gerakan tadi membuat badannya terasa sakit lagi. Kiranya luka akibat pukulan Ouw-Siucai di perahu itu masih belum sembuh benar. Dia telah memperlihatkan kepada Li Hwa bahwa dia pun bukah bocah gundul sembarangan yang tidak patut bernama Yap Kung Liong, karena dia telah merobohkan dua orang lawan! Dengan dada dibusungkan, kedua tangan dikepal siap bertanding, Kun Liong mengikuti tosu itu yang melangkah perlahan keluar dari tempat itu, menggendong Li Hwa.






Dari kanan kiri muncul belasan orang penjaga yang berpakaian seragam, tujuh orang bergolok dari kiri dan sembilan orang berpedang dari kanan. Dengan iringan teriakan, mereka menyerbu dari kanan kiri, Kun Liong yang mentaati perintah gurunya, hanya berdiri tenang, namun siap-siap untuk membela diri.

Tosu itu kini menggerakkan kedua lengan bajunya ke kanan kiri membiarkan Li Hwa merangkul pundaknya dan mengempit pinggangnya dengan kaki. Dari lengan baju itu menyambar angin pukulan yang dahsyat ke kanan kiri dan... belasan orang itu roboh malang melintang seperti rumput-rumput kering dilanda angin taufan!

Kini dari depan datang belasan orang pasukan panah dan terdengarlah suara bersuitan ketika anak-anak panah datang meluncur ke arah Kun Liong dan kakek itu. Kembali kakek itu menggunakan pukulan lengan bajunya dan semua anak panah dipukul runtuh, berserakan ke lantai sebelah depan mereka. Sebelum ada anak panah menyerang lagi, kakek itu mendorongkan kedua lengannya bergantian ke depan dan seperti juga tadi, pasukan panah itu roboh terguling-guling!

Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan mereka yang roboh dan bangun kembali, tidak berani sembarangan menyerang, hanya berdiri dan siap menanti perintah atasan.

Kun Liong gembira dan kagum bukan main. Ingin ia bertepuk tangan saking kagumnya, akan tetapi melihat Li Hwa bersikap tenang, dia pun tenang-tenang saja dan kini melangkah tegap di samping gurunya, dengan kedua tinju bergerak-gerak memasang kuda-kuda!

Pasukan-pasukan penjaga mengurung dari belakang, depan, kiri dan kanan. Akan tetapi mereka tidak menyerang, hanya bergerak mengikuti kakek yang melangkah perlahan menuju ke ruangan dalam rumah tahanan itu.

“Pinto tidak ingin berkelahi. Pinto ingin bicara dengan pangcu kalian!” kata kakek itu dengan suara tenang dan penuh kesabaran.

Tiba-tiba pintu depan terbuka lebar dan lima orang yang memegang tombak, yaitu para pengawal pribadi Kian Ti, demikian nama pangcu itu, muncul dan meloncat masuk dengan sikap galak. Serta-merta mereka memekik dan menerjang maju, lima orang maju sekaligus dan lima batang tombak bergerak-gerak, ujung tombak tergetar menjadi banyak, tanda bahwa Si Pemegang memiliki tenaga lwee-kang yang kuat. Kemudian dibarengi teriakan nyaring, mereka menyerang tosu itu.

“Pergilah...!”

Tosu itu berseru, hanya tampak kedua kakinya bergerak-gerak diikuti ujung kedua tali ikat pinggang yang tergantung panjang ke bawah, dan... lima orang itu jungkir-balik dan terbanting roboh di atas lantai! Mereka dapat meloncat lagi dengan sigap dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan kepada kakek luar biasa itu.

“Suruh pangcu kalian maju, pinto ingin bicara dengamya.” Kembali kakek itu berkata tenang.

Lima orang itu melompat ke samping dan berdiri berjajar, tombak di tangan didirikan di sebelah kiri mereka.

“Pangcu tiba…!” Terdengar seruan dari pintu depan.

“Kau mau bertemu Pangcu? Silakan!” kata seorang di antara pengawal-pengawal bertombak itu sambil mengembangkan lengan kirinya.

Tosu itu melangkah ke depan, memandang ke arah pintu depan. Li Hwa di belakang punggungnya menoleh ke kanan kiri dalam keadaan siap kalau-kalau mereka diserang dari belakang. Di belakang mereka pasukan-pasukan bergerak mengikuti, anak panah, tombak, golok dan pedang siap di tangan. Kun Liong melangkah perlahan di sebelah kanan gurunya, kedua tinju disiapkan, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang!

Tampak bayangan kuning berkelebat dan Si Ketua telah berdiri di situ! Dia tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan hawa marah kepada tosu itu.

“Hemm… kiranya engkau seorang berkepandaian yang berpura-pura bodoh, ya? Agaknya engkau memang utusan mereka untuk merampas tawanan kami?”

“Tidak sama sekali!!” Jawab tosu itu. “Pinto hanya kebetulan saja lewat dan tanpa sebab ditawan oleh orang-orangmu. Pangcu, engkau keliru sekali kalau menculik anak ini dan berarti engkau memancing datangnya bahaya yang akan menghancurkan Ui-hong-pang. Apakah gurumu, Kwi-eng Niocu masih belum bertobat dan berani menentang The-taiciangkun? Kuharap saja engkau dapat sadar dan membiarkan pinto membawa pergi nona kecil ini sehingga urusan akan habis sampai di sini saja.”

“Tua bangka keparat! Siapa takut kepadamu? Hayo katakan, siapa engkau sebelum mati di depan kakiku!”

“Sudah pinto katakan, orang menyebut pinto Bu Beng Tosu (Tosu Tanpa Nama).”

“Keparat! Dengan menggunakan nama Laksamana The Hoo, apa kau kira aku Kian Ti akan takut kepadamu? Engkau tidak mau mengaku nama, baiklah, engkau akan mati tanpa nama!”

Setelah berkata demikian, Kian Ti menggerakkan kedua lengan tangannya. Jari-jari tangannya dibentuk seperti cakar harimau, kedua tangan itu digerak-gerakkan perlahan saling menyilang dan berputaran dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah semua lengan kedua tangannya remuk, dan perlahan-lahan, kedua lengan yang telanjang karena lengan bajunya tersingkap itu berubah menjadi kemerahan, makin lama makin merah sampai akhirnya menghitam!

Melihat perubahan pada lengan ini diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Biarpun dia belum pernah mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, akan tetapi dia adalah putera suami isteri yang sakti sehingga pernah dia mendengar penuturan ayah bundanya tentang ilmu-ilmu pukulan yang mujijat, yang dilatih oleh tokoh-tokoh persilatan dengan cara yang aneh-aneh pula.

“Suhu, dia mempunyai tangan beracun!” kata Kun Liong ketika melihat kedua tangan yang kehitaman.

“Totiang, apakah itu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)?” Li Hwa juga bertanya.

Kakek itu tidak menjawab, bahkan berkata kepada Kiang Ti,
“Kiang-kongcu, sebelum terlambat kuperingatkan kepadamu agar sadar dan tidak menggunakan kekerasan terhadap pinto seorang tua.”

Akan tetapi, sikap dan ucapan kakek itu seperti orang guru menasihati murid dianggap sebuah tantangan yang menghina oleh Kiang Ti. Tiba-tiba dia menerjang ke depan, berlari sambil memekik nyaring,

“Yaaatttt!!”

Kedua tangannya yang berubah menjadi hitam itu menghantam ke dada dan perut kakek yang berdiri dengan tenang, sama sekali tidak bergerak untuk menangkis maupun mengelak itu.

“Plakk! Bukkk!!”

Tubuh kakek yang menggendong Li Hwa itu sama sekali tidak terguncang seperti sebuah pilar batu diterjang lalat, akan tetapi Kiang Ti terbelalak, tubuhnya seperti lumpuh dan ia roboh berlutut di depan kedua kaki orang tua itu dan mulutnya memuntahkan darah!

“Siancai…!” Kakek itu berkata, menunduk dan melihat tanda dua telapak tangan di dada dan perutnya karena bajunya di bagian yang terpukul itu telah berlubang dengan pinggirnya seperti dibakar, akan tetapi kulit tubuhnya sama sekali tidak ada tanda apa-apa. “Mengapa engkau keras kepala, Pangcu? Untung di dalam buntalan pinto yang kalian rampas itu terdapat akar obat yang bentuknya seperti ular belang. Masaklah dengan air dan minum airnya, tentu lukamu akan sembuh.”

Dengan tenang, kakek itu lalu melangkah menuju ke pintu, diikuti oleh Kun Liong yang merasa makin takjub dan bangga kepada kakek yang menjadi gurunya itu.

“Tunggu… Locicianpwe… nama apakah... yang akan kusebutkan... kepada... guruku kelak...?” Kiang Ti berkata tanpa bangkit dari lantai di mana dia jatuh berlutut.

“Hemmm, katakan bahwa akar cendana sudah lama dikubur, dan kepala naga sudah lama lenyap dari sungai telaga…”

Tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap bersama anak perempuan yang digendongnya dan bocah gundul yang digandengnya dari pandang mata Kiang Ti dan anak buahnya.

Kiang Ti terbelalak, bibirnya berkata dengan keluhan panjang
“Aahhh… tongkat akar cendana berkepala naga... mengapa kakek sakti itu masih hidup dan muncul di sini...? Sungguh sialan...” Dia terguling dan roboh pingsan!

Kun Liong dan Li Hwa memejamkan mata dan merasa ngeri. Apalagi Kun Liong yang merasa betapa tubuhnya tergantung dengan tangan kanan dan meluncur seperti terbang cepatnya itu! Setelah lama dan napas mereka terengah karena kencangnya angin menderu di depan hidung, secara tiba-tiba angin berhenti dan ketika mereka membuka mata, kakek itu telah berhenti menggunakan ilmu lari cepat yang tidak lumrah hebatnya itu!

Li Hwa melorot turun dari gendongan dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek aneh itu.

“Mohon Locianpwe sudi memaafkan teecu yang tidak tahu bahwa teecu telah tertolong oleh Locianpwe Bun Hwat Tosu yang sakti!”

Kun Liong terkejut sekali. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini, nama yang dipuji-puji oleh ayah bundanya sebagai nama seorang di antara manusia-manusia sakti seperti dewa di dunia ini! Bahkan nama ini disejajarkan dengan nama Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya yang menjadi orang paling sakti di Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum )! Nama yang dimiliki oleh tokoh pertama dari Hoa-san-pai! Maka dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut.

“Teecu juga mohon maaf bahwa teecu tidak tahu telah diambil murid oleh Ketua Hoa-san-pai yang mulia!”

Petualang Asmara







Tidak ada komentar: