*

*

Ads

FB

Sabtu, 03 September 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 180

Kota kecil Sun-ke-bun terletak di tepi Sungai Fen-ho di sebelah selatan kota besar Tai-goan dan masih termasuk wilayah kaki Gunung Tai-hang-san. Pagi hari itu kota kecil Sun-ke-bun diselimuti kabut dingin yang bergerak perlahan turun dari arah lereng-lereng Gunung Tai-hang-san, akan tetapi Sungai Fen-ho sendiri mengepulkan kabut yang hangat.

Perang saudara yang berkobar karena perebutan kekuasaan antara Raja muda Yung Lo dan keponakannya yang menjadi kaisar Kerajaan Beng telah padam. Perang selesai dengan kemenangan di fihak Raja Muda Yung Lo yang kemudian naik tahta Kerajaan Beng di tahun 1403. Setelah memindahkan pusat pemerintahan di Peking yang dijadikan ibu kota.

Pemerintah yang baru ini masih sibuk membangun kerusakan-kerusakan akibat perang sehingga belum sempat mengatur daerah-daerah yang jauh dari ibu kota. Seperti lajim terjadi di dunia ini, kalau kedudukan pemerintah belum teratur, maka keamanan pun belum dapat terjamin penuh dan muncullan kekuasaan-kekuasaan liar sehingga terjadi hukum rimba. Siapa kuat dia menang dan berkuasa.

Dalam keadaan sekacau itu, rakyat yang tinggal di dusun-dusun dan di kota-kota kecil yang jauh dari ibu kota, dicekam rasa ketakutan dan terpaksa tunduk kepada kekuasaan liar yang merajalela. Bajak, rampok dan golongan hitam (penjahat) berpesta-pora, melakukan segala macam perbuatan maksiat tanpa ada yang berani melarangnya. Bahkan para pembesar setempat yang masih belum tentu keadaannya dan kedudukannya berhubung dengan peralihan kekuasaan di pemerintah pusat, terpaksa lunak dan mengalah terhadap orang-prang golongan hitam.

Kota Sun-ke-bun tidak terkecuali dari keadaan itu. Kota kecil ini seakan-akan dikuasai dan diperintah oleh para pembesar lemah bersama kaum hitam! Betapa pun juga, rakyat yang selalu tunduk akan keadaan karena terpaksa itu dapat menyesuaikan diri, dengan keadaan kota itu tetap ramai dan seolah-olah di situ tidak terdapat penindasan dan kekacauan.

Pagi hari itu toko-toko dan warung-warung makan belum buka, bahkan pintu-pintu rumah penduduk banyak yang belum buka karena mereka sibuk dengan pekerjaan di dalam dan di belakang rumah. Hawa amat dinginnya, membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan, rumah-rumah penduduk masih sunyi sekali. Orang-orang segan bermandi kabut dingin di luar rumah.

Akan tetapi, sesosok bayangan orang yang hampir tak tampak ditelan kabut dingin, berjalan memasuki kota Sun-ke-bun dari pintu timur. Ia berjalan terseok-seok terhuyung-huyung dan keadaannya seperti orang kehabisan tenaga, kadang-kadang berhenti dan menyandarkan diri di luar dinding rumah orang untuk mengatur napas. Diselimuti kabut yang tebal, sukar menentukan siapa orang itu, laki-laki atau wanita, tua atau muda, hanya yang sudah pasti orang itu tentu dalam keadaan menderita kelelahan atau mungkin dalam keadaan sakit.

Tiba-tiba kesunyian dipecahkan suara derap kaki kuda yang datang dari selatan. Serombongan orang berkuda lewat di jalan itu, akan tetapi mereka tidak melihat orang yang bersandar pada dinding rumah di pinggir jalan. Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw, dengan senjata di pinggang atau punggung. Sikap mereka kasar dan mereka kini menjalankan kuda perlahan sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap.

"Setan! Malas-malas benar penduduk kota ini, seperti babi!"

"Kalau kita bakar rumah-rumah mereka, hendak kulihat apakah mereka akan tetap berpelukan dengan isteri mereka di bawah selimut. Ha-ha-ha!"

"Sialan! Semua masih tutup dan perutku sudah lapar sekali! Seekor lembu pun bisa habis kuganyang pada saat ini!"






"Itu ada rumah makan. Gedor saja, paksa pemiliknya suruh buka melayani kita!"

"Bagaimana kalau dia belum membeli daging?"

"Ha-ha-ha! Koki restoran mesti gemuk, kita sembelih saja dia dan masak dagingnya!"

Mereka tertawa-tawa dan menghentikan kuda di depan sebuah rumah makan "Arak Merah" yang masih tertutup daun pintunya, berloncatan turun, mengikatkan kendali kuda pada tempat yang disediakan untuk itu di luar, kemudian sambil tertawa-tawa mereka berteriak-teriak kasar dan parau sambil menggedor pintu rumah makan "Arak Merah".

"Duk-duk-brukkk! Buka pintu, babi malas! Cepat... kalau tidak kuhancurkan pintu ini!"

Dari dalam terdengar suara bakiak tersaruk-saruk dan terdengar suara orang tergesa-gesa,

"Baik...baik...! Harap sabarlah...akan saya buka pintunya!"

Tujuh orang laki-laki itu tertawa bergelak dan daun pintu terbuka lebar-lebar oleh seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gemuk sekali, pakaiannya masih tidak karuan, bercelana akan tetapi tidak berbaju sehingga daging dadanya yang bulat seperti buah dada wanita dan perutnya yang berlipat lima itu tampak. Munculnya pemilik restoran yang amat gemuk ini memancing ketawa tujuh orang tadi.

"Ha-ha-ha-ha-ha! Benar-benar babi gemuk yang sudah sepatutnya disembelih!"

"Tentu tebal gajihnya!"

"Wah, Sam-can (potongan daging lemak kulit) yang lezat nih, apalagi kalau dipanggang setengah matang!"

"Akan tetapi harus banyak jahe dan mericanya, kalau tidak... wah minta ampun bau keringatnya! Ha-ha-ha!"

"Buntutnya untuk aku saja..."

"Bodoh, makin besar babinya, makin kecil buntutnya, ha-ha-ha!"

Pemilik restoran itu sudah terbiasa akan sikap kasar orang-orang seperti ini, maka dia tidak menjadi takut. Dia maklum bahwa orang-orang kang-ouw yang kasar ini tidak akan mengganggunya, hanya suka menggodanya, dan paling-paling mereka ini datang karena membutuhkan makan dan minum. Maka dia tertawa lebar, menyeringai seperti babi menguap dan berkata,

"Wah, wah, tentu Chit-wi Taihiap (Ketujuh Pendekar Besar) hanya main-main saja. Babi gemuk yang tua seperti saya ini tentu alot dan nyinyir!"

Seorang di antara ketujuh orang yang tertawa-tawa mendengar ini, yang jenggotnya dipotong pendek sehingga merupakan sikat kawat dan bermata bundar, melotot sambil membentak,

"Kami boleh main-main, akan tetapi perut kami yang lapar dan golok kami yang haus darah tidak main-main. Lekas sediakan masakan yang paling lengkap, arak merah yang paling keras dan wangi. Kalau tidak ada kayu bakar, kami akan cabut daun pintu restoranmu untuk kayu bakar, kalau tidak ada air, darahmu pun boleh dibuat pengganti dan kalau tidak ada daging... hemmm..." Si brewok menusukkan telunjuknya perlahan ke perut pemilik restoran, "...biar alot, dagingmu pun boleh kau panggang untuk kami!"

Pemilik restorang bergelak bersama mereka sambil mengangguk-angguk,
"Ada, semua siap. Chit-wi tunggu sebentar, akan saya masakan sop buntut naga, kuah telinga harimau, dan panggang paha burung hong!"

"Babi tua penipu! Nama masakanmu selalu sepeti dewa, siapa tidak tahu bahwa nagamu itu hanya ular sawah, harimaumu hanya kelinci dan burung hong itu hanya ayam! Hayo cepat, kami sudah lapar sekali, jangan-jangan kawan-kawanku tidak sabar lagi dan mengganyang dagingmu hidup-hidup! Ha-ha-ha!"

Si pemilik restoran yang gendut itu berlari ke dalam sambil berteriak-teriak nyaring,
“Heh, kucing betina! Hayo cepat berpakaian dan masak air, panaskan arak. Tidur saja kerjanya!"

Tujuh orang itu yang sudah melepaskan pedang dan golok di atas meja dan menyeret-nyeret kursi, tertawa.

"Babi tua, kalau binimu itu sudah mogok tidur, engkau yang berkaok-kaok ketagihan, ha-ha-ha!"

Tak lama kemudian muncullah isteri si pemilik restoran yang tubuhnya kurus sekali, berlawanan dengan suaminya, disusul pula oleh dua orang kacung pelayan restoran yang masih menggosok-gosok mata yang penuh tahi mata.

"Kalian semua cuci muka dulu dan mencuci tangan bersih-bersih!" teriak si brewok yang agaknya menjadi pemimpin tujuh orang berkuda itu.

Selagi si pemilik restoran dibantu isteri dan dua orang kacungnya sibuk di dapur untuk menyiapkan masakan dan arak, tujuh orang itu bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya di tempat yang masih kosong itu. Ada yang menaruh kedua kakinya di atas meja dan menyandarkan leher di sandaran kursi sambil melenggut karena lelah dan mengantuk, ada yang duduk metongkrong di atas meja. Si brewok mengeluarkan sebatang huncwe dan mulailah mengisap tembakau yang baunya memenuhi ruangan restoran yang cukup luas itu.

"Twako, apakah kantung itu tidak perlu dibawa ke sini?"

Seorang diantara mereka yang termuda, usianya tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan, berbeda dengan enam orang kawannya yang lebih tua dan yang semua berwajah kasar buruk, bertanya kepada si brewok.

Si brewok menghembuskan asap tembakaunya dan mendengus sambil membuang kerling keluar restoran di mana tampak kuda mereka tertambat.

"Phuah Siapa berani mengganggu milik kita? Biar saja di sana. Siauw-ong tentu belum bangun sepagi ini, nanti dari sini kita langsung ke gedungnya dan menyerahkan hasil kita semalam."

"Wah, sungguh menjemukan. Hanya perhiasan dan benda mati yang kita dapat! Tiga orang perempuan yang di kapal itu hanya nenek-nenek. Sialan! Biasanya tentu ada gadis-gadis cantik di kapal pesiar itu!" Berkata seorang yang dahinya codet bekas goresan senjata tajam.

"Boan-te, mengapa mengomel? Setelah selesai menghadapi Siauw-ong, apa sukarnya mencari perempuan cantik di kota ini? Tentu banyak persediaan untuk kita, dan Siauw-ong tentu takkan melupakan jasa kita semalam. Ha-ha-ha!" kata seorang yang matanya juling.

Tak lama kemudian pemilik restoran yang gendut dibantu isterinya yang kurus dan dua orang kacungnya keluar membawa hidangan yang masih mengepul panas dan mengeluarkan bau sedap, membuat tujuh orang yang kelaparan itu menitikkan air liur.

Si mata juling dengan gerakan kurang ajar mencubit pinggul isteri pemilik restoran yang sudah setengah tua itu sambil berkata,

"Eh, Gendut, isterimu begini kurus dan engkau begini gendut, bagaimana bisa? Ha-ha-ha!"

Pemilik restoran itu tertawa bersama para penunggang kuda, sedangkan isterinya tersipu-sipu malu dan lari masuk.

"Ha-ha-ha! Bodoh engkau!" kata si brewok. "Gendut dan kurus itulah yang cocok sekalli, betul tidak, Paman Gendut?"

"Aaaaahhh, Taihiap bisa saja, ha-ha-ha!"

Si pemilik restoran tertawa, akan tetapi di dalam hatinya dia menyumpah-nyumpah dan memaki orang-orang kurang ajar itu. Tujuh orang itu mulai menyerbu masakan dan si pemilik restoran bersama dua orang kacungnya mulai membereskan meja-meja lain, membersihkannya dan membuka semua pintu restoran.

Sesosok tubuh orang yang tadi berjalan terhuyung-huyung telah tiba di depan restoran itu. Hidungnya kembang kempis mencium bau masakan sedap dan dia lalu memasuki rumah makan.

Begitu orang ini muncul di pintu dan disambut oleh si pemilik restoran dengan pandang mata terbelalak, tujuh orang yang sedang makan itu menghentikan makan mereka dan semua menoleh ke arah pintu dengan pandang mata terbelalak dan sinar mata liar. Makin lama, sinar mata liar itu menjadi makin mengandung gairah. Mereka adalah sekumpulan laki-laki kasar dan orang yang muncul di pintu restoran itu memang benar-benar dapat membuat setiap mata pria terbelalak penuh gairah.

Dia adalah seorang wanita berusia kurang tiga puluh tahun, cantik sekali, amat manis dan mempunyai daya tarik yang luar biasa karena sinar matanya yang penuh tantangan, bibirnya yang setengah terbuka, kemerahan dan seolah-olah mengajak pria yang memandangnya untuk mencumbu!

Biarpun wajahnya di saat itu pucat dan menunjukkan tanda kelelahan dan penderitaan, biarpun rambutnya yang hitam halus dan panjang itu terurai lepas, namun kejelitaannya menonjol sekali.

Apalagi ketika mata ketujuh orang laki-laki itu menjelajahi ke arah tubuh wanita ini, mereka diam-diam menelan ludah dan si juling menjadi makin juling berkumpul di dekat hidung karena dia mempergunakan semua tenaga matanya untuk menelan tubuh itu!

Tubuh yang padat, montok denok dengan kulit yang putih kuning bersih tanpa cacat! Sungguh pun pakaian wanita ini agak kotor berdebu, bahkan di bagian pundaknya terobek dan ternoda banyak darah dari luka di pundaknya, namun bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhnya, pinggang yang ramping, pinggul dan dada yang penuh membulat dan membusung!

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: