*

*

Ads

FB

Minggu, 21 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 128

Demikianlah, sampai berulang-ulang Cong San mengikuti jejak yang selalu ditinggalkan Keng Hong di sepanjang jalan! Ditinggalkan dengan sengaja untuknya. Makin lama Cong San merasa makin berterima kasih kepada Keng Hong, akan tetapi juga gemas kepada Ang-kiam Bu-tek yang demikian sukar disusul.

Pada suatu hari, mengikuti jejak yang ditinggalkan Keng Hong, Cong San tiba di kota Lok-yang. Kemarin dia menyeberangi sungai Huang-ho di sebelah utara kota Lok-yang dan dia diberi peninggalan jejak Keng Hong melalui seorang nelayan yang menyeberangkannya.

Di Lok-yang, dia menerima pemberitahuan Keng Hong melalui seorang pelayan hotel. Memang kini Cong San tidak dapat lagi meninggalkan petunjuk-petunjuk Keng Hong, maka di setiap tempat dia malah mencari jejak Keng Hong dengan memasuki restoran-restoran, penginapan-penginapan, dan lain-lain. Petunjuk terakhir yang dia terima di Lok-yang dua hari yang lalu menuju ke Gunung Phu-niu-san, di sebelah barat kota itu, di perbatasan Propinsi Ho-nan dan Shen-si!

Karena dia mendengar keterangan dari hasil penyelidikannya bahwa perjalanan ke gunung Phu-niu-san amat sukar dan juga berbahaya karena di sana banyak sekali perampok sehingga oleh umum tidak dijadikan jalan umum lagi, maka Cong San bermalam di Lok-yang dan baru berangkat ke tempat yang dimaksudkan pada keesokan harinya, pagi-pagi.

Ia mendengar bahwa orang-orang yang melakukan perjalanan ke barat, ke Propinsi Shen-si dan ke kota Sian, tidak lagi ada yang berani melalui jalan darat karena bahayanya daerah Pegunungan Phu-niu-san. Mereka lebih suka memakai jalan air, yaitu melawan arus Sungai Huang-ho kemudian yang hendak ke utara memasuki Sungai Ceng-ho dan yang ke selatan melalui Sungai Wei-ho. Kedua sungai ini memasuki Huang-ho di tempat yang sama.

Karena dia tahu bahwa daerah yang dilalui berbahaya dan jauh dari kota atau dusun, sebelum berangkat Cong San makan dulu sampai kenyang, kemudian dia membeli bekal roti kering secukupnya. Sambil menggendong buntalan pakaian dan bekalnya, Cong San berangkat menuju ke Gunung Phu-niu-san yang sudah tampak begitu dia keluar melalui pintu kota Lok-yang sebelah barat.

==============
Akan tetapi begitu dia tiba di kaki Gunung Phu-niu-san, dia terheran-heran melihat banyak orang berduyun-duyun naik ke bukit, bahkan ada yang membawa kereta berisi bermacam barang. Ada kereta penuh sayuran, ada pula yang menggotong babi, ada yang membawa gulungan kain sutera dan lain-lain barang berharga.

Yang mengherankan hati Cong San adalah ketika dia melihat bahwa yang mengepalai pembawa barang-barang ini adalah orang-orang yang melihat caranya berpakain jelas orang kang-ouw. Ada pula yang berjalan seorang diri, ada yang bergerombol sambil mengobrol gembira. Bermacam-macam cara pakaian mereka. Ada hwesio, ada tosu, ada pula yang berpakaian seperti dia, golongan ahli sastra, ada pula yang berpakaian seperti pengemis!

Akan tetapi dari gerak-gerik mereka ini adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya hendak mengunjungi Gunung Phu-niu-san untuk mengunjungi sesorang. Sama sekali tidak kelihatan berbahaya perjalanan ke Phu-niu-san ini.

Melihat tiga orang laki-laki berpakaian seperti dia, berusia empat puluh tahun, Cong San sengaja mendekati mereka, mengangkat kedua tangan dengan sikap hormat dan berkata,






"Kalau Sam-wi tidak merasa terhina siauwte akan merasa terhormat sekali jika Sam-wi suka menerima siauwte sebagai teman seperjalanan. Bukankah Sam-wi juga hendak ke puncak?"

Tiga orang itu memandang Cong San penuh perhatian, kemudian balas menjura dan seorang di antara mereka bertiga yang bertahi lalat di dahinya menjawab

"Tentu saja boleh, mari silakan! Kita sama-sama segolongan kutu buku mengapa harus bersungkan-sungkan?"

Mereka bertiga itu tertawa dan Cong San juga tersenyum. Mereka berempat lalu berjalan perlahan di atas jalan yang mulai mendaki.

"Hiante siapakah? Dan dari mana? Tentu Hiante orang jauh maka tidak mengenal kami bertiga," kata pula si tahi lalat di jidat.

Cong San menjura lagi.
"Maaf, siauwte Yap Cong San hanya anak seorang guru silat di dusun kecil jauh dari sini. Mohon tanya siapakah Sam-wi?"

Orang ke dua yang matanya sipit sekali dan sikapnya angkuh menjawab,
"Kami bertiga di daerah ini terkenal sebagai Siangkoan Sam-hengte (Tiga Saudara Siangkoan) yang dijuluki Bun-bu Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar Terpelajar)! Dia ini yang tertua, kakakku bernama Siangkoan Lok, aku yang ke dua bernama Siangkoan Leng dan dia ini adikku Siangkoan Cit."

Cong San kembali menjura,
"Ah, kiranya Sam-wi adalah pendekar-pendekar besar yang terkenal. Maafkan kalau saya tidak mengenal Gunung Thaisan. Sungguh beruntung saya dapat berkenalan dengan Sam-wi."

"Yap-hiante, engkau masih begini muda sudah mengenal Phu-niu-sancu (Majikan Gunung Phu-niu)? Sungguh beruntung, masih begini muda sudah mengenal orang pandai. Wah, kabarnya pesta pernikahan yang akan diadakan oleh Sancu dibuat amat meriah dan diadakan pertunjukkan ilmu silat tinggi. Dan yang lebih hebat lagi, kabarnya Sancu akan menikah dengan seorang.... bidadari!"

Diam-diam Cong San girang mendengar si tahi lalat itu membuka mulut memberi keterangan seperti itu. Mengertilah dia bahwa kiranya orang-orang kang-ouw ini hendak mengunjungi pesta pernikahan tokoh Gunung Phu-niu-san. Pantas banyak yang membawa barang-barang berharga untuk sumbangan!

"Ah, seorang muda dan bodoh seperti saya mana ada kehormatan untuk berkenalan dengan Phu-niu-sancu? Sebetulnya adalah ayah saya yang sudah mengenal Sancu, dan saya hanya diutus oleh ayah untuk mewakilinya datang hadir dalam pesta pernikahan Sancu dan menghaturkan selamat."

"Ah, pantas saja kau belum mengenal kami. Kiranya engkau masih amat hijau, Yap-hiante," kata si mata sipit. "Apakah ayahmu juga mengajarkanmu ilmu silat?"

"Wah, kalau dibicarakan sungguh memalukan. Saya hanya bisa sedikit ilmu silat kampungan, mana pantas dibicarakan dengan Sam-wi yang terkenal sebagai pendekar besar?"

"Memang tidak perlu bicara tentang ilmu silat. Nanti di sana kita akan menyaksikan ahli-ahli silat kelas satu. Kalau begitu, engkau pun belum tahu sampai di mana kelihaian Lian Ci Tojin Sengjin dan Sian Ti Sengjin?"

Cong San menjadi bingung karena tidak pernah mendengar nama ini, maka dia hanya menggeleng kapala. Si tahi lalat kelihatan bangga menceritakan kelihaian dua orang yang disebutnya itu, maka dia melanjutkan,

"Lian Ci Sengjin atau Phu-niu Sancu sudah hebat bukan main, ilmu kepandaian Sian Ti Sengjin yang menjadi suhengnya, lebih hebat lagi!"

Cong San mengangguk-angguk.
"Saya hanya mendengar dari ayah bahwa mereka berdua itu hebat kepandaiannya. Akan tetapi belum pernah menyaksikan sendiri. Dan kalau mempelai prianya begitu lihai, tentu mempelai wanitanya juga bukan sembarangan wanita, bukan?"

Cong San sengaja memancing lebih banyak keterangan lagi. Kiranya tidak percuma Keng Hong memberitahukan tempat ini kepadanya. Apakah Cui Im lari ke Phu-niu-san dan akan berada di antara banyak tamu? Ataukah musuh besar itu mempunyai hubungan dengan Phu-niu-sancu? Dia harus bisa mendapatkan keterangan yang jelas untuk dapat mengatur sikap, dan dia pun sama sekali tidak boleh bertindak sembrono karena kalau benar dugaan bahwa Cui Im memiliki hubungan dengan Phu-niu Sancu, tentu perempuan itu akan dibantu banyak orang di situ.

"Entahlah," jawab si tahi lalat yang memang doyan mengobrol. "Hal itu masih merupakan rahasia karena kami semua baru sekarang mendengar berita dan undangan bahwa Sancu hendak menikah. Hanya ada berita yang membocor, berita desas-desus bahwa Sancu akan menikah dengan seorang wanita yang kecantikannya seperti bidadari, dan yang kabarnya pun bukan orang sembarangan."

Jantung Cong San berdebar. Agaknya mempelai wanita itulah yang dikejarnya! Diam-diam dia memperhatikan orang-orang yang berbondong naik ke puncak dan diam-diam hatinya agak khawatir.

Tiga orang yang sombong dan membanggakan diri sebagai Bun-bu Sam-taihiap ini kiranya hanya lagaknya saja yang hebat, tentu bukan lawan yang perlu diperhatikan, akan tetapi di antara mereka yang berjalan naik itu dia melihat beberapa orang yang membayangkan kepandaian tinggi. Terutama sekali seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang berjenggot panjang dan di pinggangnya terdapat sebatang golok bergagang emas, yang berjalan bersama seorang tosu tua.

Mereka berdua itu berjalan tanpa bercakap-cakap, akan tetapi dari langkah kaki dan sikap kedua orang itu, Cong San dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai. Selain dua orang ini, dia melihat pula seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, membawa sebatang tongkat butut dan pakaiannya butut dan kotor pula, rambutnya kusut dan mukanya penuh kerut merut berwarna kotor kehitaman. Keadaan kakek ini pun kotor menjijikan, akan tetapi anehnya dia bergandengan tangan dengan seorang kakek berpakaian seperti sastrawan yang bersih dan mewah, yang menggandeng pula seorang kakek berpakaian pendeta. Sikap tiga orang kakek ini menarik perhatian, mereka tertawa-tawa dan si kakek jembel beberapa kali berkata,

"Ha-ha-ha, tuan pengantin berjalan lebih gagah agar tidak membikin malu nona pengantin!"

Si kakek pendeta tersenyum-senyum dan si kakek sastrawan berjalan digagah-gagahkan. Semua orang memandang dengan muka khawatir. Apakah tiga orang kakek ini sengaja bermain-main hendak mengejek Phu-niu-sancu? Akan tetapi karena keadaan mereka yang aneh, melihat usia mereka yang sudah amat tinggi, tidak ada yang berani menegur, bahkan ketiga orang Bun-bun Sam-taihiap yang memandang sambil menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek yang bersikap seperti anak-anak kecil itu.

Rombongan tamu yang bersamaan dengan Cong San terdiri dari dua puluh orang lebih. Setelah tiba di puncak bukit, Cong San melihat bahwa di atas puncak itu, dari bawah tidak tampak karena tersembunyi di antara pohon-pohon, terdapat bangunan-bangunan mewah merupakan perkampungan.

Para tamu disambut oleh orang-orang yang berpakaian seragam biru bersikap gagah, lalu dipersilakan duduk ke dalam ruangan gedung terbesar di mana telah tersedia ratusan buah bangku dan di situ telah menanti pula dua orang tuan rumah yang menerima para tamu dengan senyum ramah akan tetapi hanya terhadap beberapa orang tamu saja mereka bangkit berdiri dan balas menghormat.

Terhadap tamu-tamu yang tidak dikenal , termasuk Cong San, dua orang tuan rumah itu hanya mengangguk sedikit untuk membalas penghormatan mereka. Cong San melihat betapa dua orang itu pun tidak bangkit berdiri ketika membalas penghormatan tiga orang Bun-bu Sam-taihiap tadi, akan tetapi tiga orang itu tidak kelihatan kurang senang sehingga diam-diam Cong San menjadi geli hatinya. Ia pun lalu mengambil tempat duduk di antara para tamu, dekat dengan tiga orang sastrawan sombong itu. Dari tempat duduknya dia memandang ke arah dua orang tuan rumah penuh perhatian.

Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang gagah dan bersikap angkuh penuh wibawa. Melihat wajah mereka dia dapat menduga yang mana suhengnya dan mana sutenya. Dia tadi mendengar bahwa yang menjadi "majikan gunung" adalah yang muda, yang disebut Lian Ci Sengjin atau juga Phu-niu-sancu, sedangkan suhengnya adalah Sian Ti Sengjin. Tentu laki-laki bertubuh tegap, bermuka gagah dan angkuh, berusia empat puluh tahun lebih itu yang menjadi ketua atau majikan Gunung Phu-niu-san. Laki-laki di sebelah kanannya yang lebih tua beberapa tahun, yang berwajah pendiam dan serem itu tentu suhengnya. Dia tidak mengenal mereka dan setelah memandang sejenak Cong San mencari-cari dengan pandang matanya, namun yang dicarinya tidak tampak.

Baik Cui Im maupun Keng Hong tidak tampak bayangannya di antara tamu-tamu yang sudah puluhan orang banyaknya itu. Ia mulai ragu-ragu apakah dia tidak salah duga, jangan-jangan yang dimaksudkan Keng Hong bukan tempat pesta ini!

"Ssttt, Hiante, engkau tentu mencari pengantin wanita, bukan?" Tiba-tiba si tahi lalat yang duduk di belakangnya berbisik. "Sabarlah, benda berharga tentu disimpan baik-baik, wanita cantik tentu tidak diobral untuk ditonton banyak orang, melainkan dikeram dalam kamar. Nanti tentu diperkenalkan..."

Wajah Cong San menjadi merah akan tetapi dia sengaja tersenyum dan mengangguk. Ia lebih tertarik ketika betapa kedua orang tuan rumah itu menyambut kedatangan tiga orang kakek aneh. Dua orang itu cepat bangkit dan dengan wajah berseri lalu memberi hormat sambil membungkuk. Bahkan Phu-niu-sancu segera berkata,

"Ah, kiranya Sam-wi Locianpwe benar-benar sudi datang mengunjungi kami? Harap banyak maaf bahwa kami tidak mengetahui lebih dulu sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya!"

Melihat sikap tuan rumah dan mendengar ucapan sancu itu, semua orang terkejut, termasuk Cong San dan juga ketiga orang "pendekar" yang duduk di belakangnya. Semua orang tidak ada yang mengenal kakek itu dan melihat penghormatan yang demikian besar, sebutan "locianpwe" dari majikan gunung, mereka semua menduga-duga siapa gerangan tiga orang kakek tua renta yang aneh itu.

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: