"Mau apa...? Perlu apa kamu...??"
"Engkau belum membayar!" Cong San menjawab sambil menjauhkan mukanya agar tidak kehujanan air ludah.
"Bayar? Bayar apa? Gilakah kamu?"
"Bayar karena kau meludah sembarangan. Bayar pajak, dan inilah bayarannya!"
"Plak-plak-plak....!"
Kedua pipi Kemutani telah ditampar oleh telapak tangan Cong San. Keras sekali tamparan itu sehingga Kemutani merasa dunia seperti melambung-lambung dan bintang-bintang di langit berjatuhan dan menari-nari di depan kedua matanya. Akan tetapi rasa heran, kaget dan marah membuat dia cepat dapat menguasai dirinya kembali. Ia merasa malu terlalu heran melihat sastrawan lemah itu berani menamparnya!
"Kau... Kamu yang menamparku tadi?"
Cong San mengangguk, bertolak pinggang.
"Apakah mau tambah?"
"Setan demit keparat!"
Kemutani memaki-aki dalam bahasa Mongol dan dua sinar putih menyambar ketika tahu-tahu kedua tangannya yang sudah memegang sebuah belati itu menyambar. Sebuah menyambar leher dan sebuah lagi menyambar perut.
"Hemmm, bagus juga!"
Cong San cepat mengelak dengan melengkungkan dan menarik tubuh ke belakang. Diam-diam dia terkejut. Orang ini tidak hanya lihai melempar pisau, akan tetapi serangannya ini pun hebat. Ia tidak boleh main-main dan sekali tangan pemuda ini bergerak, dia telah mencabut keluar sebuah pensil putih di tangan kiri dan sebatang lagi pensil hitam di tangan kanan.
Inilah senjatanya yang amat lihai yang disebut Im-yang-pit. Keistimewaan senjata pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini adalah bahwa selain Im-yang-pit dapat dipakai menotok jalan-jalan darah terpenting juga dapat dipakai sebagai alat tulis yang sesuai pula dengan keahliannya, yaitu melukis dan menulis sajak pasangan!
Juga senjata rahasia uang logam yang dipergunakan oleh Yap Cong San adalah uang logam sungguh-sungguh sehingga selain dipakai untuk menyerang lawan, juga bisa dipakai untuk jajan!
Yap Cong San adalah murid terbaru dan tersayang dari Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua dan amat sakti itu. Sebetulnya, setelah menyerahkan urusan-urusan dunia yang menyangkut Siauw-li-pai kepada dua orang muridnya, yaitu murid-murid kepala Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang tua ini sudah mengundurkan diri, dan hanya tekun bertapa.
Akan tetapi, pada suatu hari Thian Ti Hwesio yang baru pulang dari tugas keluar, membawa seorang bocah laki-laki menghadap ketua yang menjadi gurunya itu dan menceritakan bahwa bocah itu terpaksa dia bawa ke kelenteng Siauw-lim-pai karena seluruh keluarganya telah terbunuh ketika terjadi perang saudara.
Melihat anak itu yang bukan lain adalah Yap Cong San, hati kakek tua itu terharu dan merasa suka sekali. Maka, selain Cong San diterima menjadi kacung bukan calon hwesio, juga dia malah menjadi kacung pribadi Tiong Pek Hosiang dan akhirnya malah diangkat menjadi murid terakhir.
Cong San amat cerdik, tidak saja dalam ilmu silat, juga dia pandai sekali dalam ilmu sastra, sehingga ketua Siauw-lim-pai makin menyayangnya. Hanya ada satu hal yang mengecewakan hati Tiong Pek Hosiang, yaitu bahwa muridnya ini tidak menjadi hwesio.
Betapapun juga, bakat besar yang ada pada diri Cong San membuat Tiong Pek Hosiang tidak segan-segan untuk mencurahkan seluruh perhatiannya dan mengajarkan semua ilmunya kepada pemuda itu. Apalagi karena Cong San amat tekun belajar sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, pemuda itu tidak pernah keluar kuil, bahkan belum pernah bermalas-malasan.
Kalau tidak membaca kitab-kitab memperdalam ilmu kesusastraan, tentu dia berlatih silat! Tidaklah mengherankan kalau dengan bakat besar ditambah ketekunan dan bimbingan sorang guru sakti, Cong San dapat menguasai ilmu-ilmu Siauw-li-pai yang tinggi-tinggi dan tingkat kepandaiannya malah melampaui tingkat kedua orang suhengnya, yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio!
Baru setelah Thian Ti Hwesio terbunuh oleh Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, pemuda ini bersumpah untuk membalas dendam dan bermohon kepada gurunya untuk mengijinkannya mencari pembunuh suhengnya.
Tiong Pek Hosiang mengijinkan dan pemuda itu turun gunung, mulai dengan perantauannya mencari jejak Ang-kiam Bu-tek yang akhirnya membawanya ke kota raja. Biarpun dia telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, namun Cong San tetap berpakaian sebagai seorang pelajar dan tidak menonjolkan kepandaian silatnya sehingga ahli-ahli silat seperti Cui Im, bahkan Keng Hong sendiri sampai tidak mengenalnya.
Ketika dia diserang oleh Kemutani, Cong San maklum bahwa untuk menghadapi lawan yang bersenjata dua batang pisau lihai itu, tak mungkin dia akan menang jika bertangan kosong. Diam-diam dia juga merasa terkejut mengapa malam ini di tempat itu, ketika hatinya sudah girang dapat menemukan pembunuh suhengnya, dia bertemu dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan orang bermuka pucat yang menyerangnya ini pun amatlah lihainya, sama sekali bukan seperti tiga orang pengawal yang dirobohkannya tadi.
Pertandingan segera berlangsung seru antara Kemutani dan Yap Cong San. Senjata mereka sama sepasangnya, juga sama kecilnya, dan karena senjata kecil membutuhkan kecepatan besar, mereka bergerak cepat seolah-olah bayangan mereka saling belit menjadi satu.
Kemutani bertanding sambil memaki-maki saking marahnya dan saking penasaran hatinya mendapat kenyataan bahwa pemuda yang tadinya dibelai dan dipermainkan Cui Im, ternyata adalah seorang lihai dan seorang musuh pula.
Ia merasa penasaran karena ternyata orang yang dianggap lemah ini merupakan lawan tangguh, dan lebih penasaran hatinya karena halangan Cong San ini membuat dia tidak sempat membantu Cui Im menghadapi Keng Hong.
Seperti juga Cong San yang perlahan-lahan dapat mendesak lawan, Keng Hong yang dikeroyok tiga juga mulai mendesak ketiga orang lawan lihainya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu silat ini dapat dia mainkan pedang, bahkan dipetik inti sarinya dan digabung dengan Siang-bhok Kiam-sut yang lihai sehingga tiga orang lawannya menjadi bingung.
Cui Im yang lebih mengenal ilmu-ilmu Keng hong dan yang memiliki kepandaian paling tinggi, di samping ilmu pedangnya sendiri yang amat tangguh, juga menjadi bingung menyaksikan gerakan-gerakan tubuh Keng Hong.
Hanya Cui Im yang berani mengadu tenaga sinkang lewat pedang melawan Keng Hong, karena gadis ini selain memiliki sinkang kuat, juga dapat menghindarkan diri dari tenaga sedotan yang juga dipergunakan Keng Hong dalam menghadapi para pengeroyoknya.
Beberapa kali sudah Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek kena disedot sinkang mereka oleh Keng hong pada saat senjata mereka bertemu. Senjata kedua orang pengeroyok ini melekat pada Siang-bhok-kiam dan tenaga sinkang mereka membanjir melalui telapak tangan yang memegang senjata.
Untung bahwa Cui Im bergerak cepat dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lengan Keng Hong sehingga terpaksa pemuda ini membebaskan senjata lawan dari tempelan pedangnya untuk menghadapi Cui Im. Dan karena beberapa mengalami kekagetan, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek yang berilmu tinggi menjadi hati-hati sekali, tidak lagi berani mengadu senjata secara berterang.
Hal ini membuat Keng hong mendapat angin dan dia terus mendesak, dan menunjukkan desakannya terutama kepada Cui Im. Karena gadis ini menolak untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa dia akan membunuh Cui Im dan baru kemudian menyelidiki di mana adanya pusaka yang dicuri wanita itu.
Hebat bukan main desakan Keng Hong. Suatu saat, sinar hijau dari pedangnya meluncur ke arah tubuh Cui Im, dan semua tenaga dikerahkan menjadi satu. Cui Im terkejut bukan main, berusaha menangkis beberapa kali dengan pedang merahnya, akan tetapi sinar hijau itu seperti seekor naga sakti mengamuk, tiap kali ditangkis menyerang terus, makin lama makin cepat dan kuat.
Melihat ini, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek berseru keras dan menerjang Keng Hong yang sedang mendesak Cui Im itu dari belakang. Mendadak Keng Hong membalikkan tubuh, sebelah lututnya ditekuk dan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke depan.
"Wirrrrr....!!"
Hawa pukulan sinkang yang keluar dari telapak tangan kiri Keng Hong ini bukan main kuatnya sehingga Pak-san Kwi-ong sendiri sampai terhuyung ke belakang, bahkan Siauw Lek terdorong dan roboh bergulingan sebelum bangkit kembali.
Keng hong sudah mencelat lagi sambil membuat poksai tiga kali dan dari atas tubuhnya didahului sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam, menusuk ke bawah dan meluncur ke arah kepala Cui Im.
"Crinnnnggggg...!!"
Cui Im yang menangkis, terdorong dan terjengkang terus bergulingan untuk menyelamatkan diri dari sinar hijau yang hendak menyambarnya.
"Sret-srettt-sretttt...!!"
Keng Hong sudah mengenal Cui Im dan tahu bahwa selain lihai ilmu silatnya, wanita ini juga curang sekali dan amat berbahaya jika sudah terdesak, karena senjata rahasianya amat keji. Maka ketika tadi Cui Im bergulingan, dia mengejar dengan waspada. Tepat seperti dugaannya, sinar-sinar merah kecil dari jarum-jarum merah beracun yang disambitkan Cui Im sambil bergulingan menyambarnya.
Keng Hong menggerakkan pedang Siang-bhok-kiam dan jarum-jarum itu runtuh semua. Akan tetapi Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek sudah dapat mengurungnya kembali dengan terjangan dahsyat sehingga Keng Hong cepat mengelak dan menangkis.
Namun sebentar saja Keng Hong yang mainkan ilmu silat campuran Thai-kek Sin-kun dan Siang-bhok Kiam-sut, telah membuat bingung ketiga orang lawannya yang kembali terdesak hebat. Melihat keadaan tidak menguntungkan ini, Cui Im tanpa malu-malu berteriak,
"Kemutani, hayo bantu....!!"
Pada saat itu, Kemutani sendiri sudah mandi keringat, terdesak oleh sepasang Im-yang-pit yang lihai di tangan Yap Cong San. Beberapa kali dia terkena totokan, dan biarpun totokan itu tidak tepat kenanya karena selain dia sempat menangkis ditambah kebalnya tubuh, namun dia masih merasakan nyeri sehingga permainan sepasang pisaunya menjadi kacau balau. Ia kini hanya dapat menangkis dan mengelak, tidak sempat membalas serangan lawan.
Mendengar seruan Cui Im itu, dia menjadi bingung dan mendadak peranakan Mongol ini melempar tubuh ke belakang sambil menyambitkan dua batang pisau yang tadi dipegangnya. Sambitannya amat cepat dan karena jarak mereka dekat, melihat dua sinar yang menuju ke dada dan perutnya itu Cong San segera menggulingkan tubuh ke kiri terus bergulingan.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Kemutani untuk meloncat sambil mencabut beberapa batang pisau, menerjang maju ke gelanggang pertempuran dan kedua tangannya bertubi-tubi, menyambitkan pisau-pisau itu ke arah Keng hong.
Biarpun Keng Hong dapat memukul runtuh semua pisau satu demi satu, namun gangguan ini membuat dia repot juga melayani desakan tiga orang lawannya yang lihai.
Sementara itu, Cong San yang meloncat bangun lagi dan melihat Kemutani sudah meninggalkannya dan menghujani tubuh Keng Hong dengan sambitan-sambitan pisau terbang, menjadi marah dan membentak,
"Pengecut!"
Ia menyimpan kedua pensilnya dan mengeluarkan segenggam uang tembaga, kemudian kedua tangannya juga bekerja. Belasan buah uang tembaga itu bercuitan menyambar ke arah punggung Kemutani.
Sebagai seorang ahli menggunakan senjata rahasia, Kemutani dapat mengenal desir angin bercuitan ini. Cepat dia memutar tubuh dan siap untuk mengelak atau menangkis. Namun karena tadi perhatiannya dicurahkan kepada Keng Hong, dia terlambat mengelak. Biarpun dia sudah meloncat ke atas untuk menghindarkan sambaran sinar-sinar kehitaman itu, masih ada sepotong uang tembaga yang tadinya menyambar ke perutnya, kini menancap di bawah pusar, tepat pada anggauta rahasia di bawah pusar.
"Engkau belum membayar!" Cong San menjawab sambil menjauhkan mukanya agar tidak kehujanan air ludah.
"Bayar? Bayar apa? Gilakah kamu?"
"Bayar karena kau meludah sembarangan. Bayar pajak, dan inilah bayarannya!"
"Plak-plak-plak....!"
Kedua pipi Kemutani telah ditampar oleh telapak tangan Cong San. Keras sekali tamparan itu sehingga Kemutani merasa dunia seperti melambung-lambung dan bintang-bintang di langit berjatuhan dan menari-nari di depan kedua matanya. Akan tetapi rasa heran, kaget dan marah membuat dia cepat dapat menguasai dirinya kembali. Ia merasa malu terlalu heran melihat sastrawan lemah itu berani menamparnya!
"Kau... Kamu yang menamparku tadi?"
Cong San mengangguk, bertolak pinggang.
"Apakah mau tambah?"
"Setan demit keparat!"
Kemutani memaki-aki dalam bahasa Mongol dan dua sinar putih menyambar ketika tahu-tahu kedua tangannya yang sudah memegang sebuah belati itu menyambar. Sebuah menyambar leher dan sebuah lagi menyambar perut.
"Hemmm, bagus juga!"
Cong San cepat mengelak dengan melengkungkan dan menarik tubuh ke belakang. Diam-diam dia terkejut. Orang ini tidak hanya lihai melempar pisau, akan tetapi serangannya ini pun hebat. Ia tidak boleh main-main dan sekali tangan pemuda ini bergerak, dia telah mencabut keluar sebuah pensil putih di tangan kiri dan sebatang lagi pensil hitam di tangan kanan.
Inilah senjatanya yang amat lihai yang disebut Im-yang-pit. Keistimewaan senjata pemuda murid ketua Siauw-lim-pai ini adalah bahwa selain Im-yang-pit dapat dipakai menotok jalan-jalan darah terpenting juga dapat dipakai sebagai alat tulis yang sesuai pula dengan keahliannya, yaitu melukis dan menulis sajak pasangan!
Juga senjata rahasia uang logam yang dipergunakan oleh Yap Cong San adalah uang logam sungguh-sungguh sehingga selain dipakai untuk menyerang lawan, juga bisa dipakai untuk jajan!
Yap Cong San adalah murid terbaru dan tersayang dari Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua dan amat sakti itu. Sebetulnya, setelah menyerahkan urusan-urusan dunia yang menyangkut Siauw-li-pai kepada dua orang muridnya, yaitu murid-murid kepala Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio, ketua Siauw-lim-pai yang tua ini sudah mengundurkan diri, dan hanya tekun bertapa.
Akan tetapi, pada suatu hari Thian Ti Hwesio yang baru pulang dari tugas keluar, membawa seorang bocah laki-laki menghadap ketua yang menjadi gurunya itu dan menceritakan bahwa bocah itu terpaksa dia bawa ke kelenteng Siauw-lim-pai karena seluruh keluarganya telah terbunuh ketika terjadi perang saudara.
Melihat anak itu yang bukan lain adalah Yap Cong San, hati kakek tua itu terharu dan merasa suka sekali. Maka, selain Cong San diterima menjadi kacung bukan calon hwesio, juga dia malah menjadi kacung pribadi Tiong Pek Hosiang dan akhirnya malah diangkat menjadi murid terakhir.
Cong San amat cerdik, tidak saja dalam ilmu silat, juga dia pandai sekali dalam ilmu sastra, sehingga ketua Siauw-lim-pai makin menyayangnya. Hanya ada satu hal yang mengecewakan hati Tiong Pek Hosiang, yaitu bahwa muridnya ini tidak menjadi hwesio.
Betapapun juga, bakat besar yang ada pada diri Cong San membuat Tiong Pek Hosiang tidak segan-segan untuk mencurahkan seluruh perhatiannya dan mengajarkan semua ilmunya kepada pemuda itu. Apalagi karena Cong San amat tekun belajar sehingga sampai berusia dua puluh lima tahun, pemuda itu tidak pernah keluar kuil, bahkan belum pernah bermalas-malasan.
Kalau tidak membaca kitab-kitab memperdalam ilmu kesusastraan, tentu dia berlatih silat! Tidaklah mengherankan kalau dengan bakat besar ditambah ketekunan dan bimbingan sorang guru sakti, Cong San dapat menguasai ilmu-ilmu Siauw-li-pai yang tinggi-tinggi dan tingkat kepandaiannya malah melampaui tingkat kedua orang suhengnya, yaitu Thian Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio!
Baru setelah Thian Ti Hwesio terbunuh oleh Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, pemuda ini bersumpah untuk membalas dendam dan bermohon kepada gurunya untuk mengijinkannya mencari pembunuh suhengnya.
Tiong Pek Hosiang mengijinkan dan pemuda itu turun gunung, mulai dengan perantauannya mencari jejak Ang-kiam Bu-tek yang akhirnya membawanya ke kota raja. Biarpun dia telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, namun Cong San tetap berpakaian sebagai seorang pelajar dan tidak menonjolkan kepandaian silatnya sehingga ahli-ahli silat seperti Cui Im, bahkan Keng Hong sendiri sampai tidak mengenalnya.
Ketika dia diserang oleh Kemutani, Cong San maklum bahwa untuk menghadapi lawan yang bersenjata dua batang pisau lihai itu, tak mungkin dia akan menang jika bertangan kosong. Diam-diam dia juga merasa terkejut mengapa malam ini di tempat itu, ketika hatinya sudah girang dapat menemukan pembunuh suhengnya, dia bertemu dengan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan orang bermuka pucat yang menyerangnya ini pun amatlah lihainya, sama sekali bukan seperti tiga orang pengawal yang dirobohkannya tadi.
Pertandingan segera berlangsung seru antara Kemutani dan Yap Cong San. Senjata mereka sama sepasangnya, juga sama kecilnya, dan karena senjata kecil membutuhkan kecepatan besar, mereka bergerak cepat seolah-olah bayangan mereka saling belit menjadi satu.
Kemutani bertanding sambil memaki-maki saking marahnya dan saking penasaran hatinya mendapat kenyataan bahwa pemuda yang tadinya dibelai dan dipermainkan Cui Im, ternyata adalah seorang lihai dan seorang musuh pula.
Ia merasa penasaran karena ternyata orang yang dianggap lemah ini merupakan lawan tangguh, dan lebih penasaran hatinya karena halangan Cong San ini membuat dia tidak sempat membantu Cui Im menghadapi Keng Hong.
Seperti juga Cong San yang perlahan-lahan dapat mendesak lawan, Keng Hong yang dikeroyok tiga juga mulai mendesak ketiga orang lawan lihainya dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun. Ilmu silat ini dapat dia mainkan pedang, bahkan dipetik inti sarinya dan digabung dengan Siang-bhok Kiam-sut yang lihai sehingga tiga orang lawannya menjadi bingung.
Cui Im yang lebih mengenal ilmu-ilmu Keng hong dan yang memiliki kepandaian paling tinggi, di samping ilmu pedangnya sendiri yang amat tangguh, juga menjadi bingung menyaksikan gerakan-gerakan tubuh Keng Hong.
Hanya Cui Im yang berani mengadu tenaga sinkang lewat pedang melawan Keng Hong, karena gadis ini selain memiliki sinkang kuat, juga dapat menghindarkan diri dari tenaga sedotan yang juga dipergunakan Keng Hong dalam menghadapi para pengeroyoknya.
Beberapa kali sudah Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek kena disedot sinkang mereka oleh Keng hong pada saat senjata mereka bertemu. Senjata kedua orang pengeroyok ini melekat pada Siang-bhok-kiam dan tenaga sinkang mereka membanjir melalui telapak tangan yang memegang senjata.
Untung bahwa Cui Im bergerak cepat dan menggunakan pedangnya untuk menyerang lengan Keng Hong sehingga terpaksa pemuda ini membebaskan senjata lawan dari tempelan pedangnya untuk menghadapi Cui Im. Dan karena beberapa mengalami kekagetan, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek yang berilmu tinggi menjadi hati-hati sekali, tidak lagi berani mengadu senjata secara berterang.
Hal ini membuat Keng hong mendapat angin dan dia terus mendesak, dan menunjukkan desakannya terutama kepada Cui Im. Karena gadis ini menolak untuk mengembalikan pusaka-pusaka itu, terpaksa dia akan membunuh Cui Im dan baru kemudian menyelidiki di mana adanya pusaka yang dicuri wanita itu.
Hebat bukan main desakan Keng Hong. Suatu saat, sinar hijau dari pedangnya meluncur ke arah tubuh Cui Im, dan semua tenaga dikerahkan menjadi satu. Cui Im terkejut bukan main, berusaha menangkis beberapa kali dengan pedang merahnya, akan tetapi sinar hijau itu seperti seekor naga sakti mengamuk, tiap kali ditangkis menyerang terus, makin lama makin cepat dan kuat.
Melihat ini, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek berseru keras dan menerjang Keng Hong yang sedang mendesak Cui Im itu dari belakang. Mendadak Keng Hong membalikkan tubuh, sebelah lututnya ditekuk dan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke depan.
"Wirrrrr....!!"
Hawa pukulan sinkang yang keluar dari telapak tangan kiri Keng Hong ini bukan main kuatnya sehingga Pak-san Kwi-ong sendiri sampai terhuyung ke belakang, bahkan Siauw Lek terdorong dan roboh bergulingan sebelum bangkit kembali.
Keng hong sudah mencelat lagi sambil membuat poksai tiga kali dan dari atas tubuhnya didahului sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam, menusuk ke bawah dan meluncur ke arah kepala Cui Im.
"Crinnnnggggg...!!"
Cui Im yang menangkis, terdorong dan terjengkang terus bergulingan untuk menyelamatkan diri dari sinar hijau yang hendak menyambarnya.
"Sret-srettt-sretttt...!!"
Keng Hong sudah mengenal Cui Im dan tahu bahwa selain lihai ilmu silatnya, wanita ini juga curang sekali dan amat berbahaya jika sudah terdesak, karena senjata rahasianya amat keji. Maka ketika tadi Cui Im bergulingan, dia mengejar dengan waspada. Tepat seperti dugaannya, sinar-sinar merah kecil dari jarum-jarum merah beracun yang disambitkan Cui Im sambil bergulingan menyambarnya.
Keng Hong menggerakkan pedang Siang-bhok-kiam dan jarum-jarum itu runtuh semua. Akan tetapi Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Siauw Lek sudah dapat mengurungnya kembali dengan terjangan dahsyat sehingga Keng Hong cepat mengelak dan menangkis.
Namun sebentar saja Keng Hong yang mainkan ilmu silat campuran Thai-kek Sin-kun dan Siang-bhok Kiam-sut, telah membuat bingung ketiga orang lawannya yang kembali terdesak hebat. Melihat keadaan tidak menguntungkan ini, Cui Im tanpa malu-malu berteriak,
"Kemutani, hayo bantu....!!"
Pada saat itu, Kemutani sendiri sudah mandi keringat, terdesak oleh sepasang Im-yang-pit yang lihai di tangan Yap Cong San. Beberapa kali dia terkena totokan, dan biarpun totokan itu tidak tepat kenanya karena selain dia sempat menangkis ditambah kebalnya tubuh, namun dia masih merasakan nyeri sehingga permainan sepasang pisaunya menjadi kacau balau. Ia kini hanya dapat menangkis dan mengelak, tidak sempat membalas serangan lawan.
Mendengar seruan Cui Im itu, dia menjadi bingung dan mendadak peranakan Mongol ini melempar tubuh ke belakang sambil menyambitkan dua batang pisau yang tadi dipegangnya. Sambitannya amat cepat dan karena jarak mereka dekat, melihat dua sinar yang menuju ke dada dan perutnya itu Cong San segera menggulingkan tubuh ke kiri terus bergulingan.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Kemutani untuk meloncat sambil mencabut beberapa batang pisau, menerjang maju ke gelanggang pertempuran dan kedua tangannya bertubi-tubi, menyambitkan pisau-pisau itu ke arah Keng hong.
Biarpun Keng Hong dapat memukul runtuh semua pisau satu demi satu, namun gangguan ini membuat dia repot juga melayani desakan tiga orang lawannya yang lihai.
Sementara itu, Cong San yang meloncat bangun lagi dan melihat Kemutani sudah meninggalkannya dan menghujani tubuh Keng Hong dengan sambitan-sambitan pisau terbang, menjadi marah dan membentak,
"Pengecut!"
Ia menyimpan kedua pensilnya dan mengeluarkan segenggam uang tembaga, kemudian kedua tangannya juga bekerja. Belasan buah uang tembaga itu bercuitan menyambar ke arah punggung Kemutani.
Sebagai seorang ahli menggunakan senjata rahasia, Kemutani dapat mengenal desir angin bercuitan ini. Cepat dia memutar tubuh dan siap untuk mengelak atau menangkis. Namun karena tadi perhatiannya dicurahkan kepada Keng Hong, dia terlambat mengelak. Biarpun dia sudah meloncat ke atas untuk menghindarkan sambaran sinar-sinar kehitaman itu, masih ada sepotong uang tembaga yang tadinya menyambar ke perutnya, kini menancap di bawah pusar, tepat pada anggauta rahasia di bawah pusar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar