*

*

Ads

FB

Kamis, 25 Agustus 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 141

"Subo..." Keng Hong mengangkat kedua tangan ke depan dada dan menyeringai karena pundaknya yang terluka terasa nyeri. "Harap subo maafkan bahwa teecu tidak dapat memberi hormat sebagaimana mestinya. Teecu telah menerima budi pertolongan Subo, teecu amat berterima kasih..."

"Ssttt, engkau benar-benar seperti gurumu, pandai sekali menyenangkan hati orang. Namamu Cia Keng Hong, benarkah? Aku hanya mendengar iblis betina itu memanggilmu."

"Benar, Subo. Teecu Cia Keng Hong."

"Keng Hong, terus terang saja, biarpun sudah puluhan tahun aku mempelajari ilmu pengobatan, akan tetapi luka dipunggungmu akibat cengkeraman kuku dengan ilmu beracun Ban-tok-sin-ciang itu aku tidak dapat menyembuhkannya. Maka aku khawatir sekali engkau hanya akan bertahan sampai besok pagi..."

Kalimat terakhir terdengar lirih, penuh keharuan. Mata Keng Hong tak dapat ia kuasai, sudah menyelonong lewat balik pundak subonya itu, memandang wajah gadis jelita dan melihat betapa sepasang mata yang indah itu menitikkan air mata..Aihhh, sungguh aneh. Dia mempunyai perasaan seolah-olah dia akan girang sekali kalau besok pagi mati, ditangisi oleh sepasang mata seperti itu! Gila! Gila engkau Cia Keng Hong, dia menyumpahi diri sendiri. Mata keranjang yang tiada taranya!

"Subo, dahulu suhu pernah memberi tahu bahwa pedang Siang-bhok-kiam adalah sebuah pedang mustika yang dapat menyembuhkan segala macam racun di dunia ini. Selain itu, juga di dalam tubuh teecu sudah mengeram banyak sekali racun yang disuruh minum oleh suhu sehingga sedikit banyak tubuh teecu sudah agak kebal terhadap racun. Oleh karena itu, betapapun lihainya Ban-tok-sin-ciang, namun jika benar keterangan suhu, dan jika Tuhan masih belum menghendaki, teecu rasa pedang Siang-bhok-kiam dapat menyelamatkan nyawa teecu."

Seketika berserilah wajah nenek itu dan baru sekarang dapat dilihat bahwa sebetulnya dia tadi berduka sekali.

"Benarkah? Dia tidak pernah membohong, Keng Hong. Kalau dia mengatakan demikian, pasti pedang Siang-bhok-kiam ini akan dapat menyembuhkanmu. Akan tetapi... bagaimana caranya...?"

"Harap Subo suka menusukkan Siang-bhok-kiam di punggung teecu, tepat di bagian yang terkena pukulan Ban-tok-sin-ciang. Tentu saja terserah kepada kebijaksanaan dan keahlian Subo agar tusukan tidak mengenai jalan darah dan tidak merusak bagian yang mematikan, tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu dangkal, racun yang sudah menggeram di bagian agak dalam tidak dapat tersedot keluar."

Keng Hong membicarakan hal-hal yang menyangkut bahaya bagi nyawanya ini seenaknya saja, seperti orang membicarakan urusan makan minum!

Nenek itu memandang kagum, kemudian berkata dan suaranya mengandung isak!
"Sungguh...! Engkau... seperti... seperti dia...! Mirip sekali...!"

Keng Hong tersenyum, maklum bahwa yang dimaksudkan oleh subonya adalah gurunya. Jelas bahwa subonya ini selamanya mencinta suhunya. Mengapa dahulu bisa menyelewang? Dia menarik napas panjang. Manusia manakah di dunia ini yang tidak pernah berdosa? Subonya ini pun tidak terkecualikan. Ia dapat membayangkan betapa suhunya tentu sedang pergi dan subonya yang sedang kesepian itu tergoda nafsunya sendiri, tergoda sahabat suhunya dan terjadilah pelanggaran. Apakah anehnya dalam peristiwa itu? Kalau direnungkan dengan hati dan pikiran dingin, sebenarnya bukanlah apa-apa!






"Teecu menyerahkan keselamatan teecu dalam tangan Subo. Silakan dan...eh, Sumoi... tolonglah bantu aku membalik dan menelungkup."

Gadis itu cepat melangkah maju dan kedua pipinya masih basah ketika ia membantu Keng Hong rebah menelungkup sehingga punggungnya berada di atas.

"Bukalah bajunya, telanjangi punggungnya!" kata subonya.

Keng Hong kembali menyumpahi dirinya dan ingin menempiling kepala sendiri ketika jantungnya berdebar dan hatinya merasa senang sekali merasa betapa jari-jari tangan yang halus dan hangat itu membuka bajunya.

"Eh, Suheng... engkau berdebar-debar! Kalau kau takut...ah, amat berbahaya...!" Gadis itu berseru sambil meraba iga kiri Keng Hong.

Mampus kau! Keng Hong menyumpahi dirinya. Terbongkar rahasia mata keranjangmu! Ia menoleh dan memaksa diri tersenyum.

"Sumoi, siapa sih yang tidak takut menghadapi detik hidup atau mati ini? Akan tetapi aku cukup tabah, harap jangan khawatir, aku percaya penuh akan keahlian Subo menggunakan pedang!"

Kalau gadis itu tidak mengerti dan percaya akan keterangan Keng Hong, adalah nenek itu yang tak dapat dibohongi. Orang yang berdebar takut tidak bisa tersenyum seperti itu. Ia mnghela napas dan berkata lirih,

"Hemmm,,,,, persis dia..! Tiada sedikit pun bedanya... hemmmmm!"

Keng Hong terkejut. Suara. "Hemmm!" yang terakhir itu benar-banar mencurigakan, karena terdengar jelas subonya itu gemas. Tentu sudah tahu bahwa jantungnya berdebar karena sentuhan jari-jari tangan mungil! Celaka dua belas! Keng Hong cepat membenamkan muka pada bantal dan berkata dengan suara bindeng karena hidungnya terhimpit di bantal,

"Silakan, Subo!"

Nenek itu memegang Siang-bhok-kiam yang sudah dicuci bersih karena tadi memasuki perut Ang-bin Kwi-bo, dan mengheningkan cipta untuk membuat seluruh urat syaraf di tubuhnya menjadi tenang. Kemudian terdengar ia berkata,

"Cia Keng Hong, semoga Tuhan menitahkan arwah gurumu untuk membimbing tanganku menggerakkan pedang ini. Sudah kuperiksa lukamu dan racun ini mengeram dekat jantung. Tusukanku harus tepat, kurang atau lebih satu inci saja berarti nyawamu akan melayang, sampaikan maafku kepada gurumu!"

Sunyi menyeramkan setelah nenek itu mengeluarkan ucapan yang seperti orang berdoa ini, dan terdengarlah isak tertahan dari gadis yang berdiri di sudut kamar dengan kedua kaki menggigil dan muka pucat sekali.

"Teecu mengerti. Silakan!"

Suara Keng Hong sedikitpun pun tidak terdengar takut, tenang sekali. Nenek itu mundur dua langkah, menodongkan pedang, matanya yang tua namun masih awas itu memandang tanpa berkedip pada punggung yang akan ditusuknya, mengukur dengan cermat sekali. Kemudian terdengar dia mengeluarkan suara melengking, sinar hijau berkelebat dan...

"Ceppp!"

Ujung pedang Siang-bhok-kiam menusuk punggung Keng Hong dibarengi sedu-sedan gadis yang menonton pertunjukan mengerikan ini.

Terdengar keluhan yang didekap dari mulut Keng Hong. Nenek itu melepaskan gagang pedang. Pedang Siang-bhok-kiam menancap seperempat bagian di punggung itu. Keng Hong kelihatan lemas, entah pingsan entah tidur! Akan tetapi, perlahan-lahan pedang yang putih kehijauan itu berubah hitam, kemudian dari gagangnya menetes-netes cairan berwarna hitam.

"Ya Tuhan... Terima kasih..., terima kasih Sie Cun Hong...!"

Nenek itu menjatuhkan diri di depan pembaringan dan terisak! Gadis itu pun menangis dan menubruk, terus merangkul gurunya.

Kedua orang wanita itu menangis, menangis karena girang, karena sudah merasa yakin bahwa "operasi istimewa" itu berhasil baik!

"Yan Cu... Yan Cu... dengarlah baik-baik. Murid dia inilah yang harus menjadi suamimu. Aku telah menentukan detik ini juga. Engkau harus menjadi isterinya!"

"Subo...!" Gadis yang bernama Gui Yan Cu itu mencela dengan muka merah sekali dan menoleh ke arah dipan. "Dia..."

Nenek yang masih mengucurkan air mata itu tersenyum dan menggeleng kepala.
"Dia pingsan, tidak mendengar. Andaikata mendengar sekalipun, mengapa? Dia tentu setuju! Adakah perawan yang lebih hebat daripada engkau?"

"Ssssttttt... Subo... teecu malu... kalau-kalau dia mendengar..."

Nenek itu bangkit perlahan, sejenak memandang ke arah punggung Keng Hong. Makin banyak kini cairan berwarna hitam menetes turun dari gagang pedang.

"Dia sudah selamat. Kepulihan kesehatannya hanya tergantung dari kekuatan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi aku percaya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong dia telah memiliki sinkang amat kuat dan dalam waktu sepuluh hari tentu dia sudah dapat turun dari pembaringan. Kau jagalah dia baik-baik. Racun yang menetes itu cepat bersihkan dan kalau sudah berhenti cairan hitam dan pedang itu sudah menjadi putih kembali, kau boleh mencabutnya dengan cepat dan obati luka di punggung dengan daun obat pembersih luka. Beri minum obat akar penambah darah, engkau sudah tahu." Nenek itu lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan Yan Cu sendirian bersama Keng Hong.

Yan Cu duduk di bangku yang diseretnya dekat pembaringan, sejenak ia termenung seperti patung memandang ke arah punggung dan belakang kepala Keng Hong. Emang yang tampak hanya punggung dan belakang kepala, muka pemuda itu menunduk dan miring ke sebelah dalam. Punggung itu bergerak perlahan naik turun, pernapasannya yang normal, tanda sehat. Tiba-tiba Yan Cu seperti sadar dan tergopoh-gopoh ia mengambil kain, dicelupkan di air panas, lalu ia membersihkan tetesan-tetesan racun hitam.

Dengan jari telunjuknya ia perlahan-lahan menyentuh kulit punggung dekat luka, hati-hati sekali, seolah-olah khawatir kalau-kalau kulit punggung itu akan rusak oleh sentuhannya, seperti orang menyentuh sebuah perhiasan yang mahal. Kemudian ia memegang urat nadi lengan Keng Hong untuk meneliti denyut darahnya yang juga normal.

Ia bernapas lega, lalu menjaga di situ, mengusap setiap tetes racun, menjaga dengan penuh kesetiaan, penuh ketelitian dan penuh kebahagiaan. Dia suka kepada pemuda ini. Dia tadinya merasa girang sekali mendapatkan seorang suheng yang begini lihai dan begini... Ganteng!

Sekarang, suheng ini tiba-tiba menjadi calon suaminya! Benar-benar kini berbeda sekali perasaannya. Dia hanya girang, gembira, bahagia. Selanjutnya dia tidak akan berpisah dari pemuda ini kalau sudah menjadi isteri pemuda ini. Cinta? Dia tidak tahu, tidak mengerti. Yang ia tahu hanya bahwa dia suka kepada Keng Hong, suka dan kagum.

Dengan amat telaten dan penuh perhatian Yan Cu merawat Keng Hong, merawat luka di punggungnya yang sekarang sudah tidak hitam lagi setelah semua racun disedot oleh Siang-bhok-kiam yang kini sudah dicabut oleh Yan Cu.

Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar dan dalam waktu dua hari dua malam dia selalu dijaga oleh Yan Cu yang tak pernah meninggalkan kamarnya. Bahkan gadis ini hanya tidur sambil duduk di atas bangku, hanya makan bubur setelah ia menyuapi Keng Hong yang masih setengah pingsan itu dengan bubur encer.

Karena kurang tidur dan lelah, tubuh gadis ini menjadi agak kurus, rambutnya kusut dan wajahnya pucat. Akan tetapi mulutnya selalu tersenyum dan sinar matanya berseri melihat betapa Keng Hong makin sehat. Pada hari ke tiga, Keng Hong siuman. Pagi itu dia tersadar dan membuka mata, melihat Yan Cu tertidur, duduk di atas bangku, kepalanya menyandar dinding. Di atas meja terdapat obat-obat dan di sudut kamar terdapat anglo tempat masak bubur dan obat.

Keng Hong kaget meraba punggungnya dan hatinya teharu sekali. Ia tahu bahwa dia telah selamat dan agaknya gadis ini selalu menjaganya entah berapa lamanya dia tidak tahu. Akan tetapi dia bisa menduga, tentu lama sekali, buktinya gadis itu sampai tertidur kelelahan di atas bangku!

Ia mengamat-amati wajah yang tertidur itu. Rambut yang kusut itu sebagian menutupi pipi. Hatinya terharu sekali. Aiiihhh, gadis yang amat cantik jelita yang telah menjaga dan merawatnya, entah berapa hari lamanya! Budi yang amat besar ini, dan dia membalasnya dengan pandang pandang mata tertarik, dengan gairah yang seperti dikutik-kutik! Benar-benar dia keparat tak tahu malu, tak kenal budi!

Ia bangkit bersila dan bersamadhi. Sinkangnya dia gerakkan dan ternyata seluruh tubuhnya sudah sehat kembali. Luar biasa sekali, kini sinkangnya dapat dia gerakkan lebih cepat daripada biasanya, jauh lebih kuat! Ia teringat, inilah hasilnya menyedot hawa sinkang dari tiga orang kakek iblis! Terbayanglah semua pengalamannya semenjak dia bertemu dengan Thian-te Sam-lo-mo dan dia bergidik. Ia berhutang budi kepada subonya, berhutang nyawa. Juga kepada gadis cantik ini.

"Ehhhhh... Engkau belum boleh duduk, Suheng...!"

Tiba-tiba Keng Hong mendengar suara gadis itu. Betapa merdunya suara itu. Ia membuka mata, tersenyum. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut sebentar dan... gadis itu menundukkan mukanya, kedua pipnya merah sekali, mulutnya tersenyum-senyum penuh rasa jengah! Eh, mengapa begini? Apakah pandang matanya kembali membayangkan perasaan terpikat? Membayangkan sifatnya yang mata keranjang? Celaka kalau begitu. Tidak boleh begini!

Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: