*

*

Ads

FB

Selasa, 19 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 075

Siauw Lek tertawa tergelak, kegembiraannya timbul dan kini kepercayaan kepada diri sendiri pulih. Tentu saja seorang gadis cantik jelita semuda ini merupakan lawan yang amat lunak dan dia sudah dapat memastikan bahwa dengan mudah dia akan dapat menundukkan nona manis ini.

"Bagus! Biarlah kita saling menguji kepandaian dan kalau sampai aku menang, aku minta hadiah!"

"Hadiah apa?"

"Peluk-cium!"

Siauw Lek tertawa dan sudah siap menghadapi kemarahan gadis itu. Sengaja dia hendak membangkitkan kemarahannya karena dalam pertandingan, siapa yang dirangsang kemarahan berarti sudah kehilangan kewaspadaan dan kalau gadis ini ternyata lihai, kemarahannya akan mengurangi kelihaianya. Akan tetapi, kembali Siauw Lek tertegun karena gadis itu hanya tersenyum manis sekali dan menjawab.

"Hemmm, itu sudah sepatutnya. Akan tetapi kalau aku yang menang engkau harus membunuh wanita yang membuatmu tergila-gila ini. Bagaimana?"

Siauw Lek menoleh ke arah tubuh ibu muda yang masih pingsan, dan dia mengangguk.
"Kalau aku kalah olehmu, memang tidak berharga sekali aku untuk menikmati wanita ini. Baiklah, aku memenuhi permintaanmu itu."

Cui Im sudah berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang.
"Nah, aku sudah siap. Majulah!"

Sekali lagi Siauw Lek tertegun.
"Disini? Kamar ini sempit sekali untuk dipakai tempat mengadu silat!"

Cui Im tersenyum mengejek.
"Tidak ada tempat sempit atau luas bagi seorang yang benar-benar ahli. Apakah engkau takut?"

"Siapa yang takut? Lihat, kutangkap engkau nona yang menggemaskan hati!"

Siauw Lek tertawa akan tetapi tiba-tiba sekali tubuhnya sudah menubruk maju, jari tangan kiri terbuka, mencengkeram ke arah dada Cui Im sedangkan yang kanan secepat kilat, juga sebelum kedua tangan datang, angin pukulannya telah terasa oleh Cui Im. Gadis ini diam-diam menjadi kagum.






Kiranya orang ini juga memiliki sinkang yang amat kuat. Pantas menjadi murid Go-bi Chit-kwi. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Andaikata serangan macam ini ditujukan kepadanya lima tahun yang lalu sebelum ia menggembleng diri dengan ilmu-ilmu tinggi dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri karena selain gerakannya tentu jauh kalah cepat oleh Siauw Lek, juga tenaga sinkangnya tentu kalah jauh.

Kini Cui Im dengan tenang saja mendoyongkan tubuh atasnya ke belakang dan kedua tangannya menyambar dari bawah, sekaligus menangkis serangan lawan sambil menggerahkan tenaganya, dan begitu dua pasang lengan itu bertemu yang membuat Siauw Lek berseru kaget karena dia merasa betapa kedua lengannya tergetar dan panas, kaki Cui Im bergerak menendang ke bawah pusarnya.

"Aihhh..!"

Siauw Lek yang tadinya memandang rendah, kaget bukan main. Tendangan itu tidak keras akan tetapi kalau tidak cepat dia hindarkan, tentu dia akan mati karena yang ditendang adalah kelemahan setiap orang laki-laki. Sambil berteriak kaget Siauw Lek sudah meloncat ke belakang, terhindar dari tendangan dan tubuhnya kini sudah berada di atas dipan, menginjak tubuh suami ibu muda yang tadi telah menjadi "mayat hidup"

"Engkau hebat sekali...!"

Ia memuji lebih penasaran daripada kagum. Memuji karena penasaran dan untuk menutupi rasa malunya. Masa dalam segebrakan saja dia hampir saja celaka di tangan wanita cantik ini?

"Hi-hi-hik, baru begitu saja hebat? Kau lihat dan jaga seranganku sekarang!"

Cui Im tertawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat sekali, meluncur ke depan seperti seekor burung walet menyambar, sambil meloncat ke depan ia sudah menyerang dengan kedua tangan terbuka, melakukan totokan dengan sepuluh jari tangannya ke bagian-bagian tubuh lawan, mencari jalan darah yang mematikan!

"Hayaaa..!"

Siauw lek terkejut sekali karena bertubi-tubi dia diserang dan setiap serangan gadis itu adalah serangan yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan maut! Ia cepat mengelak, berloncatan kesana-sini di dalam kamar sempit itu, namun bagaikan bayangan setan gadis itu terus mengejar dan menghujankan serangan dengan totokan-totokan dan pukulan-pukulan yang amat aneh, yang belum pernah dilihat sebelumnya dan mengandung hawa sinkang amat kuat.

"Celaka...!"

Tak terasa lagi seruan ini keluar dari mulut Siauw Lek. Baru sekarang terbuka matanya betapa salahnya tadi memandang rendah gadis ini. Kiranya gadis ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga biar dalam ginkang maupun sinkang, gadis ini melebihi dia sendiri!

Kini berubah pendiriannya dan sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaian yang dia warisi dari Go-bi Chit-kwi dia melakukan perlawanan, membalas serangan dengan serangan maut pula, karena dia maklum bahwa tanpa perlawanan mati-matian, nyawanya terancam bahaya maut!

Kini dia tidak memandang gadis cantik ini sebagai calon korban, sama sekali jauh, daripada itu, melainkan menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus dikalahkannya, sebagai seorang lawan yang paling berat di antara semua lawan yang pernah ditandinginya!

Setelah laki-laki itu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian yang di warisinya dari Go-bi Chit-kwi, memang dia amat hebat dan berulah dia dapat mengimbangi kedasyatan gerakan Cui Im.

Diam-diam Cui Im menjadi makin kagum dan girang. Laki-laki ini benar-benar boleh dijadikan pembantu. Ilmu kepandaiannya hebat, agaknya akan dapat menandingi Bu-tek Su-kwi dan tidak akan kalah menghadapi Cia Keng Hong, kalau bocah itu masih hidup, pikirnya sambil tersenyum.

Menyaksikan gadis yang di lawan mati-matian itu masih dapat tersenyum-senyum, leher Siauw Lek mulai berkeringat. Dia sudah mati-matian, sampai pening kepalanya dan terengah-engah napasnya, akan tetapi gadis itu masih enak-enak saja tersenyum-senyum. Benar-benar mengerikan sekali!

"Robohlah...!"

Tiba-tiba Siauw Lek membentak dan dia menyerang dengan jurus pukulannya yang paling ampuh, yaitu dengan mendorongkan kedua telapak tangan ke depan. Pukulan ini mengandung dorongan tenaga sinkang yang amat kuat, cukup untuk merobohkan lawan dari jarak jauh, apalagi kini dia menyerang dari jarak dekat. Dapat dibayangkan betapa hebat kekuatan dorongannya itu.

Namun Cui Im terkekeh mengejek, tubuhnya mencelat mumbul ke atas dan dari atas menukik ke bawah, kedua tangannya bergerak memukul ke bawah, yang kiri menimpa kedua lengan lawan yang bagian atas dan yang kanan sudah menampar pundak Siauw Lek.

"Buuuuuuukk.. Plakkk..!"

Tanpa dapat dipertahankannya lagi, tubuh Siauw Lek tergelimpang dan dia roboh menimpa tubuh ibu muda yang hendak dipaksanya melayani hasrat nafsu berahinya tadi!

"Hi-hi-hik, kepandaianmu lumayan juga, orang she Siauw!" Cui Im berkata, bukan mengejek, melainkan dengan ketulusannya hati.

Siauw Lek mengoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, kemudian bangkit berdiri dan memandang Cui Im dengan mata terbelalak, hampir tidak dapat percaya. Seorang gadis begitu cantik dan muda, memiliki kepandaian yang sedemikian hebatnya? Ahhh, mimpi pun tak pernah dia akan dikalahkan oleh seorang gadis jelita. Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking dan disusul tangis. Kiranya ketika dijatuhi tubuh Siauw Lek tadi, ibu muda itu teringat akan suami dan anaknya, ia menjerit dan menangis, memeluk mayat anaknya.

Siauw Lek menjadi gemas. Ia memang sudah merasa penasaran dan marah karena kekalahannya dan tidak menemukan sasaran untuk melampiaskan kemarahannya, kini hendak dia tumpahkan kepada ibu muda itu. Ia mengangkat tangan hendak menampar kepala yang tadinya ingin dia dekap dan ciumi, untuk membunuhi wanita itu.

"Eiiit! Mengapa tergesa-gesa? Apakah engkau sudah mengaku kalah?" Cui Im sambil meraba gagang pedangnya.

"Nona, boleh jadi dalam hal ilmu silat tangan kosong aku sudah kalah olehmu, akan tetapi selama Hek-liong-kiam masih ada padaku, aku belum mengaku kalah!"

"Bagus, aku ingin pula menyaksikan ilmu pedangmu, boleh ditambah senjata rahasiamu, bukankah kau mahir mempergunakan Hek-tok-ting?" kata pula Cui Im dengan sikap memandang rendah.

Hati Siauw Lek makin penasaran dan sekali bergerak tangan kananya sudah mencabut pedangnya yang bersinar hitam dan tangan kirinya sudah merogoh keluar belasan buah senjata rahasia berbentuk paku-paku hitam.

"Nona, bersiaplah menghadapi senjata-senjataku!"

Cui Im tersenyum, tangan kanannya bergerak ke belakang dan tiba-tiba pandang mata Siauw Lek silau oleh sinar merah ketika pedang wanita itu tercabut keluar dan dilihat, tangan kiri wanita sakti ini telah menggenggam senjata rahasianya yaitu jarum-jarum merah yang amat halus. Melihat pedang merah ini, Siauw Lek mengerutkan alisnya.

"Ang-kiam (Pedang Merah)...!”

Rasanya pernah aku mendengar tentang pedang merah...., pernah disebut-sebut di dunia kang-ouw... Ah, benar! Bukankah engkau Ang-kiam Tok-sian-li, murid Lam-hai Sin-ni adalah musuh besar mendiang guru-gurunya, maka bukan hal aneh kalau murid Lam-hai Sin-ni memusuhinya. Tentu itu sebabnya mengapa wanita ini memusuhinya dan kalau memang karena permusuhan itu, dia harus dapat membunuh wanita ini!

Akan tetapi Cui Im mengeleng-geleng kepala dan senyumnya melebar.
"Dahulu memang benar demikian, akan tetapi sekarang julukanku adalah Ang-kiam Bu-tek dan Lam-hai Sin-ni bukan guruku lagi karena tingkatku jauh lebih tinggi daripada tingkatnya. Tak perlu bicara tentang aku sebelum engkau dapat lulus dari ujianku. Nah, gerakkanlah senjatamu, Siauw Lek!"

Ucapan Cui Im itu amat sombong dan terkebur, akan tetapi juga mengejutkan hati Siauw Lek disamping menggemaskan karena sikap nona itu benar-benar seperti menganggap dia seorang anak kecil saja! Sambil mengeluarkan bentakan keras dia menerjang maju, pedangnya berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing ketika meluncur dan menyambar ke arah tubuh Cui Im.

Namun wanita ini dengan gerakan seenaknya mengangkat pedangnya, memutarnya dan tampaklah sinar seperti payung menangkis sinar hitam itu sehingga tampak bunga-bunga api diiringi suara berdencing nyaring dan sinar hitam terpental ke belakang.

Siauw Lek merasa betapa tangannya kesemutan dan dia menjadi penasaran, menyerang dengan dahsyat sekali mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Dua macam sinar pedang merah dan hitam itu segera saling libat dan saling himpit, membentuk lingkaran-lingkaran menyilaukan mata. Dua orang yang lihai ini bertanding pedang tanpa bicara, hanya terdengar dencingan-dencingan senjata mereka seolah-olah menjadi musik yang mengiring tangisan ibu muda yang tidak memperdulikan pertandingan itu karena seluruh perhatiannya tertuju kepada mayat-mayat suami dan anaknya.

"Tranggg.. Cringgg…..!!"

Suara bertemunya pedang lalu saling tempel dan saling ditarik itu disusul keluhan Siauw Lek yang mencelat mundur dengan baju bagian depan robek lebar! Mukanya pucat sekali dan tangan kirinya bergerak.

"Srat-srat-srat....!"

Sinar-sinar hitam menyambar ke depan dan tahu-tahu ada sembilan batang paku menyambar ke arah sembilan bagian tubuh depan Cui Im. Nona ini tersenyum saja, hanya menggerakkan pedang ke depan muka untuk menyampok runtuh tiga batang paku yang menyerang sepasang mata dan dahinya, adapun enam batang paku lainnya yang menyerangnya dari dada ke bawah, ia diamkan saja.

"Hemmm, tadi disuruh menuruti kata-katanya, kini berubah menjadi mentaati segala perintahnya!

"Baik, saya akan taat."

"Kalau begitu, mengapa engkau belum juga turun tangan memenuhi janjimu? Engkau telah kalah, Siauw-twako, apakahnya pada diri wanita ini yang membuatmu tergila-gila tadi?"

Siauw Lek menoleh ke arah ibu muda yang masih terisak-isak menangis. Dalam kedukaannya wanita ini lupa akan keadaan tubuhnya yang telanjang bagian atasnya. Ia menangis dan buah dadanya bergoyang-goyang. Air susu mengalir keluar membasahi mukanya. Melihat dada wanita itu, Siauw Lek tersenyum. Tak salah lagi, dada itulah yang mula-mula menarik hatinya, yang menimbulkan gairahnya. Ia menggerakkan tangan, pedangnya berubah menjadi sinar hitam menyambar ke depan. Ibu muda itu menjerit, darah memancar keluar dari sepasang buah dadanya yang terbelah, ia roboh menindih mayat anaknya dan tewas dalam genangan darahnya sendiri!

"H-hi-hi, bagus sekali, engkau memenuhi janjimu, Siauw-twako. Engkau ternyata seorang laki-laki sejati!"

Siauw Lek menyimpan pedangnya dan memandang Cui Im dengan mulut tersenyum dan pandang mata memikat.

"Tentu saja aku seorang laki-laki sejati, cukup jantan untuk menandingimu dalam apa pun juga, Nona. Akan tetapi bukankah kini tiba waktunya bagimu untuk memperkenalkan diri? Julukanmu Ang-kiam Bu-tek, dan memang pedang merahmu sukar dicari bandingnya, akan tetapi siapakah namamu, Nona?"

Cui Im tersenyum.
"Belum waktunya engkau mengenal namaku. Ilmu kepandaianmu cukup bagiku, cukup memenuhi syarat, akan tetapi apakah engkau benar seorang jantan dalam hal lain, masih harus kuselidiki dan kuuji lebih dulu."

"Maksudmu....?"

Siauw Lek membelalakan matanya melihat betapa wanita cantik itu dengan gerakan genit menarik mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Selama petualangannya baru satu kali. Inilah Siauw Lek mengalami hal yang luar biasa ini, akan tetapi sama sekali bukanlah hal yang tidak menyenangkan hatinya!

Ia pun bersiap-siap, namun sambil melirik ke arah tiga mayat keluarga yang dibunuhnya itu, tak urung mulutnya berbisik,

"Di... disini..?"

"Mengapa? Engkau ngeri?"

Cui Im bertanya tertawa, lalu melangkah maju menghampiri pembaringan, kaki kanannya yang sudah tak tertutup lagi digerakkan ke atas, ibu jari kakinya bergerak-gerak dibantu jari-jari yang lain yang menyambak rambut kepala suami ibu muda dan melontarkan mayat itu dari atas dipan yang masih bernoda darah.

"Aku? Ngeri? Ah, dewi cantik jelita, bersamamu aku akan sanggup menikmati tempat yang bagaimana burukpun, berubah menjadi sorga!" Siauw Lek menubruk dan merangkul, disambut Cui Im yang tertawa-tawa.

Iblis sendiri akan merasa ngeri dan muak menyaksikan sepasang manusia luar biasa ini, yang memiliki kekejaman tidak lumrah, keji dan jahat tiada taranya! Dan sekali ini Cui Im merasa benar-benar bertemu tanding yang amat menyenangkan dan memuaskan hatinya. Ternyata dalam segala hal, Siauw Lek benar-benar merupakan seorang laki-laki yang cukup boleh diandalkan, dapat menjadi seorang pembantu yang setia, seorang pengawal yang cukup lihai, dan seorang kekasih yang tidak mengecewakan hatinya.!

Sementara itu, Siauw Lek diam-diam merasa kagum, akan tetapi juga penasaran, Ia merasa betapa di dalam segala hal, dia selalu kalah oleh Cui Im. Dalam ilmu silat, dalam ginkang dan sinkang dalam kepandaian merayu dan bercinta. Kekalahan-kekalahan ini membuat dia penasaran. Masa dia, Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek yang belum pernah bertemu tanding dalam segala hal, kini harus tunduk dan taat akan segala perintah seorang gadis muda? Betapapun menyenangkan wanita ini, aku harus dapat menundukkan wanita ini, kalau tidak, akan rendah dan hinalah namamu demikian dia berpikir.

Menjelang pagi, ketika dia yang berpura-pura tidur itu mendengar pernapasan yang halus dan tenang dari Cui Im dan menganggap wanita itu sudah tidur nyenyak, Siauw Lek perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Sinar lilin yang sudah remang-remang itu menerangi wajah yang cantik. Hemmm, sungguh seorang wanita pilihan, pikrnya. Betapapun juga, aku harus memaksa dia menjadi pembantuku, bukan aku menjadi pembantunya, demikian Siauw Lek mengambil keputusan.

Cepat tangannya bergerak, hendak menotok pundak yang telanjang itu untuk membuat tubuh Cui Im lemas dan tidak berdaya. Dalam keadaan tidak berdaya, dia akan melakukan apa saja untuk memaksa Cui Im menjadi pembantunya. Akan tetapi Siauw Lek tidak melanjutkan gerakannya dan tiba-tiba tubuhnya seperti kaku karena ada jari-jari tangan halus mencengkeramnya di bawah selimut!

Maklumlah dia bahwa kalau dia melanjutkan totokannya, sebelum jari tangannya menyentuh pundak lawan, nyawanya sendiri akan lebih dulu melayang meninggalkan raganya! Mukanya menjadi pucat keringat dingin memenuhi dahinya.

"Hemmm, apakah engkau masih juga belum takluk kepadaku, Siauw-twako? Ataukah engkau benar-benar lebih senang mampus?"

"Aku.. Aku hanya mencoba...."

"Eh, tidak bisa engkau membohongiku, Engkau ingin menguasai aku, bukan?"

"Ba.... bagaimana engkau bisa tahu?"

"Hi-hi-hik, aku tahu bahwa engkau tadi masih penasaran, belum tunduk kepadaku. Dalam hal kecurangan dan tipu muslihat, engkau pun takkan menang dariku, Twako. Akulah jago wanita nomor satu di dunia ini dan sebagai pembantuku, engkau tidak akan menjadi rendah, bahkan namamu akan meningkat. Nah, bagaimana sekarang? Engkau tahu bahwa dengan tidak membunuhmu saat ini berarti aku sayang kepadamu, akan tetapi lain kali, sekali saja engkau berani main-main aku pasti akan membunuhmu."

Siauw Lek menghela napas, bukan karena menyesal, melainkan karena kagum sekali. Ia merangkul dan mencium dan saat itu pula Cui Im sudah yakin benar bahwa ia berhasil menundukkan pria ini.

**** 075 ****
Pedang Kayu Harum







Tidak ada komentar: