*

*

Ads

FB

Sabtu, 02 Juli 2016

Pedang Kayu Harum Jilid 023

Biarpun tenaga sinkangnya belum pulih seluruhnya, namun ilmu pedang Ang-kiam Tok-sian-li memang hebat, sehingga tidak percuma dia berjuluk si pedang merah, dan kecerdikanya serta kekejamannya membuat ia patut pula dijuluki Tok-sian-li Si Dewi Beracun!

Karena tiga orang lawan diborong sumoinya dan dia sendiri hanya menghadapi seorang lawan, pedangnya sudah dapat mengimbangi gulungan sinar rantai, bahkan beberapa kali hampir berhasil melukai lawan, yaitu memapas sebagian ujung bajunya dan membuat retak rahang tengkorak.

Keng Hong yang menonton pertandingan itu, duduk dengan hati tegang, juga dia menjadi kagum. Semenjak turun gunung, dia menyaksikan pertandingan-pertandingan yang hebat. Kini mengikuti pertandingan antara murid-murid orang sakti, murid-murid dua orang datuk dari golongan sesat yang tinggi ilmunya, matanya kabur.

Gulungan sinar pedang di tangan Cui-Im merah dan indah sekali, membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin melebar, mengurung gulungan sinar yang dibuat oleh rantai tengkorak lawannya. Adapun cambuk di tangan Song-bun Siu-li juga telah lenyap bentuknya, yang tampak hanya gulungan sinar hitam yang berkelebatan di angkasa dan mengeluarkan bunyi meledak-ledak keras dan sinar hitam ini dapat menahan rantai tengkorak tiga orang lawannya yang berusaha keras untuk mengalahkan gadis muda yang namanya sudah amat dikenal di dunia Kang-ouw itu.

Tiba-tiba Keng Hong mendapat perasaan aneh dan menengok ke belakang. Alangkah kagetnya ketika dia melihat bahwa dari arah belakang datang puluhan orang, berindap-indap dan jelas sekali mereka berniat untuk menangkapnya. Mereka adalah anak buah Pak-san Su-liong, datang menghampirinya dengan sikap mengancam, bagaikan segerombolan serigala yang hendak menyergap seekor kijang.

Keng Hong maklum akan bahayanya kalau terjatuh ke tangan anak buah Pak-san Kwi-ong. Memang tidak enak juga menjadi tawanan dua orang gadis berhati ganas itu, akan tetapi menjadi tawanan orang-orang kasar ini agaknya akan lebih mengerikan pula. Mengapa dia tidak membebaskan diri saja? Kalau tadinya dia masih belum membebaskan diri adalah pertama, dia suka melayani permainan asmara Cui Im yang benar-benar telah dinikmatinya dan ke dua, karena dia tertarik dan berterima kasih kepada Song-bun Siu-li yang menyelamatkan nyawanya.

Akan tetapi sekarang, melihat dirinya mulai diperebutkan seperti sebuah benda berharga, Keng Hong menjadi muak dan timbul keinginannya untuk meloloskan diri selagi ada kesempatan mereka saling gasak itu.

Keng Hong mengerahkan sinkangnya, mendesak pusat tenaga di pusar menyalurkan hawa sakti yang dia luncurkan ke arah kedua lengannya, kemudian sekuat tenaga dia merenggut. Tali sutra hitam yang mengikat pergelangan tangannya bukan sembarang tali, kuatnya melebihi kawat baja. Namun masih tidak dapat menahan sinkang yang tersalur di kedua lengan itu, yang kekuatannya amat luar biasa, seperti tarikan dua buah belalai gajah.





Tali itu mengeluarkan bunyi keras ketika terputus dan bergerak-gerak seperti tubuh ular terputus di atas tanah. Keng Hong hanya merasakan kulit pergelangannya panas. Ia cepat membungkuk dan melepaskan tali sutra putih yang mengikat kakinya. Ia tidak mau memutuskan tali kakinya yang dia tahu adalah sabuk sutera yang dijadikan senjata si nona baju putih, maka setelah tangannya bebas dia melepaskan tali kakinya.

Pada saat itu, empat orang tinggi besar telah menubruk dan menangkapnya, ada yang merangkul kaki, ada yang merangkul pinggangnya, ada yang memegangi tangan dan ada yang memiting leher. Akan tetapi Keng Hong tidak perduli, dia terus bangun dan berjalan mendekati kereta, menyeret empat orang itu yang melekat di tubuhnya seperti lintah. Keng Hong menyedal sabuk putih kemudian berseru kepada Song-bun Siu-li yang sibuk melayani tiga orang musuhnya.

"Song-bun Siu-li! Nih senjatamu, terimalah!"

Ia sudah menggulung sabuk itu dan melemparkannya ke arah gadis baju putih yang mengeluarkan suara heran akan tetapi cepat menyambar senjatanya yang istimewa ini dan mengganti cambuknya dengan sabuk putih.

Hebat bukan main gerakan Song-bun Siu-li setelah ia kini mainkan sabuk sutera putih itu. Tampak sinar putih bergulung, amat tebal menyilaukan mata seperti pelangi berwarna putih perak dan dalam tiga jurus saja sabuknya sudah melibat rantai seorang di antara tiga lawannya dan sekali renggut, rantai itu terlepas dari tangan lawan dan ujung sabuk yang sebelah lagi sudah menotoknya roboh!

Dua orang lawan yang lain menjadi marah dan menerjang lebih dahsyat lagi, namun dilayani oleh gadis baju putih itu dengan sikap tenang. Setelah kini senjatanya kembali ke tangannya, gadis ini menjadi lebih tenang dan penuh kepercayaannya pada diri sendiri.

Keng Hong masih dikeroyok empat orang tinggi besar yang hedak menawannya, dan sambil berteriak-teriak belasan orang tinggi besar lain merubungnya, siap membantu teman-teman mereka kalau kawalahan.

Keadaan Keng Hong seperti seekor jengkrik yang dirubung semut. Keng Hong menjadi marah dan tidak sabar lagi. Ia mengeluarkan seruan keras sambil menggoyang tubuhnya, gerakannya seperti seekor harimau yang menggoyang tubuhnya sehabis tertimpa air hujan. Terdengar pekik kaget dan tubuh empat orang yang menempel di tubuhnya tadi mencelat ke empat penjuru sampai lima enam meter jauhnya, menimpa teman-teman sendiri!

"Tangkap.....!"

"Jangan sampai dia lari!"

Orang-orang yang menjadi kaki tangan Pak-san Su-liong itu berteriak-teriak sambil mengepung terus. Mereka ini hanya merupakan segerombolan orang liar yang mengandalkan tenaga, keberanian dan pengalaman bertempur karena orang-orang ini datang dari utara, menjadi anak buah Pak-san Su-liong yang di luar tembok besar sebelah utara terkenal sebagai pemimpin orang-orang liar.

Namun tenaga mereka hanyalah tenaga otot dan tebalnya kulit, tentu saja menghadapi Keng Hong mereka itu tidak banyak artinya. Keng Hong mulai mengamuk untuk mencari kebebasannya. Ia menggunakan kaki dan tangannya, menendang dan memukul. Para pengeroyok berteriak-teriak kesakitan karena setiap pertemuan kaki tangan mereka dengan kaki tangan Keng Hong pasti mengakibatkan tulang patah dan kulit pecah.

Melihat anak buah mereka kocar-kacir, ditambah lagi seorang di antara mereka sudah tertotok roboh, tiga orang di antara Pak-san Su-liong menjadi kacau permainannya. Apalagi kini Song-bun Siu-li sudah memegang senjatanya sendiri yang amat ampuh , maka tiga orang tinggi besar murid-murid Pak-san Kwi-ong itu tak dapat bertahan lagi. Pedang merah di tangan Cui Im berhasil melukai pundak lawannya, sedangkan kedua ujung sabuk sutera putih di tangan sumoinya yang amat lihai itu sudah merampas sehelai rantai dan memecut muka seorang lawan lagi sehingga pipinya terluka dan berdarah.

Melihat lawannya mundur dan para anak buah mereka pun kocar-kacir dan mulai menjauhi Keng Hong, Song-bun Siu-li cepat berkata dan meloncat mendekati Keng Hong,

"Lekas masuk kereta. Kita melanjutkan perjalanan!"

Keng Hong berdiri memandang gadis itu dan menjawab,
"Aku tidak mau! Aku ingin melanjutkan perjalananku sendiri, Nona."

"Kau.... kau hendak melawanku?" Song-bun Siu-li berkata halus, suaranya dingin, sabuknya siap di tangan.

"Hati-hati, Sumoi. Dia mempunyai tenaga mujijat!" kata Cui Im yang juga sudah melompat dekat, tidak mempedulikan Pak-san Su-liong yang mulai menolong teman-temannya dan pergi meninggalkan tempat itu karena maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat melanjutkan usaha mereka merampas tawanan.

"Cia Keng Hong, lekas kembali ke kereta. Mereka tentu akan datang kembali, dan kalau yang muncul guru mereka Pak-san Kwi-ong, atau guru Thian-te Siang-to tadi yaitu Pat-jiu Sian-ong, kami tidak akan dapat mempertahankan engkau lagi!" kata pula Song-bun Siu-li, suaranya tetap halus akan tetapi bukan merupakan bujukan, melainkan peringatan.

Keng Hong masih berdiri dengan kedua kaki terpentang, kokoh kuat seperti batu gunung, akan tetapi pakaian di sebelah belakangnya sudah compang-camping tidak karuan. Ia menggeleng kepala dan memandang kedua orang nona itu dengan pandang mata tajam.

"Tidak, aku ingin bebas!"

"Sumoi, hajar mampus saja laki-laki tak berbudi ini!" teriak Cui Im yang sudah melangkah maju dan siap dengan pedang merahnya.

"Tahan, Suci. ibu menghendaki dia hidup-hidup! Eh, Keng Hong. Engkau sendiri tadi mengaku bahwa aku telah menyelamatkan nyawamu. Apakah ini balasanmu? Hendak melawan aku? beginikah kegagahan murid Sin-jiu Kiam-ong? Kasihan kakek itu yang tentu gelisah dalam akhirat kalau menyaksikan muridnya yang tak mengenal budi."

Wajah Keng Hong menjadi merah sekali dan dia mengepal tinjunya.
"Sudahlah, jangan membawa-bawa nama suhu. Baik, aku ikut akan tetapi ingat, hanya untuk menuruti perintahmu sebagai pembalas atas pertolonganmu. Setelah bertemu dengan Lam-hai Sin-ni, kuanggap hutangku padamu telah lunas!" Setelah berkata demikian Keng Hong lalu berjalan menuju ke kereta.

Cui Im menyenggol lengan sumoinya dengan siku sambil menggerakan muka ke arah Keng Hong yang tampak oleh mereka dari belakang, sambil terkekeh dan berbisik,

"Lihat, Sumoi...., hebat tidak, dia?"

Gadis baju putih itu memandang dan seketika wajahnya yang cantik jelita itu menjadi merah sekali. Matanya yang jelita terbelalak ketika ia melihat ke arah tubuh belakang Keng Hong. pakaian bagian belakang yang compang-camping, kulitnya yang penuh debu itu masih tidak dapat menyembunyikan sebuah punggung yang tegak dengan lengkung kuat di bagian bawah seperti terbuat daripada baja, bahu yang bidang, pinggang yang kecil dan sepasang pinggul yang bulat membayangkan otot-otot yang penuh tenaga di atas kaki yang kuat. Cepat-cepat dia memejamkan mata, tidak mau memandang lagi dan mulutnya mencela.

“Suci, engkau selalu mendahulukan nafsu-nafsumu. Kau tahu aku tidak sudi memperhatikan pria!" Gadis ini membuang muka dan setelah Keng Hong memasuki kereta, barulah ia berkata, "Ambilkan selimut dan suruh dia menutupi tubuh belakangnya yang pantas!"

Cui Im terkekeh dan berlarian ke kereta, mengambil selimut dan melemparnya ke arah Keng Hong.

"Keng Hong, tutupi badanmu yang sebelah belakang rapat-rapat, kau membikin sumoi menjadi jijik, hi-hi-hik!" kemudian ia melompat ke atas di sebelah depan dan segera membalapkan empat ekor kuda setelah sumoinya pun melompat masuk dan duduk menghadapi Keng Hong dengan sikap tidak acuh.

Dari luar terdengar suara seorang di antara Pak-san Su-liong.
“Kalian tunggu saja! Suhu sendiri yang akan merampas tawanan itu!”

Namun dua orang murid Lam-hai Sin-ni tidak mempedulikan teriakan mereka dan terus membalapkan kereta ke selatan. Kereta berguncang-guncang dan Keng Hong duduk anteng, matanya tak pernah terlepas dari wajah gadis di depannya. Ia menjadi makin kagum. Gadis ini amat lihai ilmu silatnya, juga wataknya jauh berbeda dengan watak Cui Im yang cabul dan suka mengumbar nafsunya. Gadis ini pendiam, bahkan sama sekali tidak pernah memperlihatkan kegembiraan.

Betapapun juga dalam hal kekejaman dan keganasan, gadis baju putih ini mungkin sepuluh kali lebih ganas dari Cui Im, sungguhpun agaknya tidak berwatak licik dan curang seperti sucinya itu. Diam-diam dia membuat perbandingan. Yang manakah yang baik di antara kedua orang gadis ini? Cui Im hidup sebagai seorang yang ingin menikmati hidup sebanyaknya, selalu menuruti nafsunya tanpa mempedulikan sesuatu, hendak meraih kesenangan dunia sebanyaknya tanpa peduli dia akan dicap gadis cabul atau tidak. Pendeknya segala hal di dunia ini harus diarahkan demi kesenangan diri pribadi. Gadis seperti itu tentu saja tidak mempunyai kesetiaan terhadap siapapun kecuali dirinya sendiri.

Akan tetapi gadis yang jauh lebih muda dan jauh lebih cantik juga lebih lihai yang duduk di depannya ini memiliki type tersendiri dan sukar sekali meraba-raba untuk mempelajari wataknya. Wajah cantik ini seolah-olah memakai kedok dari salju, begitu dingin dan sukar sekali dijenguk isi hatinya karena apa yang terkandung di dalam hati dan pikirannya sama sekali tidak mengubah kulit muka yang halus dan tetap dingin itu.

Tiba-tiba saja muka yang jelita ini bergerak dan sepasang mata yang jernih bertemu dengan pandang matanya. Keng Hong terkejut dan tersipu, cepat mengalihkan pandangan matanya, pura-pura melihat pohon-pohon di pinggir jalan.

"Engkau lapar?" Pertanyaan itu pun tiba-tiba dan halus merdu.

Keng Hong mengangguk dan menjawab perlahan,
"Haus....."






Tidak ada komentar: